Lihat ke Halaman Asli

SNF FEBUI

Badan Semi Otonom di FEB UI

Stigma "Broken Home": Tali Penjerat Kesehatan Mental Anak

Diperbarui: 7 Maret 2021   14:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tidak semua anak beruntung memiliki keluarga yang lengkap dan harmonis. Faktanya, terdapat lebih dari 306.000 kasus perceraian di Indonesia pada tahun 2020 [1]. Implikasinya, ratusan ribu anak Indonesia harus merasakan keretakan hubungan di keluarga intinya. Disetujui ataupun tidak, perpisahan orang tua tetap membawa kekecewaan dan kesedihan bagi sang anak. Anak yang menjadi korban broken home mengalami disrupsi pada kesehatan mentalnya.

Stigma anak "broken home" di masyarakat seakan menggeneralisasi bahwa anak broken home pastilah anak yang bandel atau patut untuk dikasihani. Padahal setiap anak mempunyai respon yang berbeda terhadap kondisi broken home yang dialaminya. Ada sebuah istilah yang cukup terkenal yaitu a broken home doesn't mean a broken child. Maknanya adalah seseorang yang meskipun orang tuanya bercerai, namun ia termasuk anak yang berperangai baik dan memiliki segudang prestasi bahkan meraih kesuksesan dalam hidupnya. Tandanya, ia menyikapi permasalahan keluarga ini dengan positif.

Namun tidak sedikit juga dari mereka yang malah tumbuh menjadi pribadi yang nakal atau melakukan penyimpangan sosial sesuai dengan stigma buruk anak "broken home". Lebih jauhnya bahkan ada yang sampai melakukan tindak kriminal atau self-harm. Anak-anak ini mengatasi rasa sakit hati yang mereka alami akibat perceraian orang tua dengan sesuatu yang negatif.

Keberagaman respon anak terhadap perceraian orang tua inilah yang tidak serta merta membenarkan stigma buruk anak "broken home". Lalu menilik lebih jauh kasus ini, bagaimana pengalaman sebagai broken home memiliki korelasi dengan kesehatan mental seorang anak? Bagaimana dinamika psikologis anak broken home mempengaruhi masa depan hidupnya? Seperti apa upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi luka yang anak-anak tersebut rasakan akibat broken home?

Dibalik Stigma "Broken Home"

Broken home didefinisikan sebagai keluarga yang retak atau berantakan (mengalami disfungsi keluarga) yang ditandai dengan adanya perceraian orang tua, pertikaian atau konflik dalam keluarga, orang tua yang kurang dalam memberikan kasih sayang, kurangnya komunikasi diantara anggota keluarga karena kesibukan masing-masing, dan sebagainya (Ndari, 2016: 40).

Sejatinya, keluarga adalah tempat anak dalam mendapatkan pendidikan dan kasih sayang. Lalu, timbul kepuasan psikis pada diri anak yang akan menjadi penentu cara anak bereaksi terhadap lingkungan. Anak yang tumbuh dalam keluarga yang tidak harmonis (broken home) tidak akan mendapatkan kepuasan psikis yang cukup sehingga sulit untuknya mengontrol emosi dan mengembangkan keterampilan sosial. Sulit untuk berkomunikasi secara terbuka dan sehat, kurang mampu dalam membangun hubungan sosial yang baik, dan lain sebagainya.

Selain itu, tidak kondusifnya keadaan rumah membuat emosi negatif menyelubungi perasaan para korban broken home. Bak luka disiram air garam, stigma buruk anak broken home yang ada di masyarakat memperparah emosi negatif yang mereka rasakan akibat perpecahan dalam keluarganya. Tak jarang mereka diremehkan dan dibicarakan dari belakang oleh orang disekitarnya. Kebanyakan para korban broken home hanya bisa diam menahan semua rasa sakitnya seorang diri. Keadaan ini membuat luka yang mereka alami berkali-kali lipat menjadi lebih menyakitkan.

Dinamika Psikologis Anak "Broken Home"

Menggunakan teori "The Five Stage of Grief" [2], kita juga bisa menganalisa dinamika psikologis anak broken home. Tahap pertama adalah denial, dimana anak broken home berpura-pura tidak terjadi apapun dan menolak kesedihan. Ia menolak fakta bahwa keluarganya telah terpecah dan berpura-pura bahwa keluarganya masih baik-baik saja. Tahap kedua adalah anger, anak broken home akan marah dan menyalahkan orang atau benda di sekitarnya untuk melampiaskan kesedihannya. Tahap ketiga adalah bargaining, yaitu ketika seorang anak broken home mulai berandai-andai hal yang seharusnya dilakukan untuk mencegah perpecahan keluarganya terjadi. Tahap keempat adalah depression, anak broken home menyadari fakta yang terjadi saat ini serta merasa sangat sedih dan tidak beruntung atas keretakan keluarganya. Tahap terakhir yaitu acceptance, seorang anak broken home menerima keretakan dalam keluarganya dan menyadari bahwa ia harus melaluinya serta mengambil hikmah atas hal tersebut. Ia merasa bahwa ia harus melanjutkan hidupnya dengan baik. Kegagalan dalam mencapai tahap acceptance menghasilkan anak broken home dengan perilaku menyimpang dan bahkan bertindak kriminal atau self-harm.

Dampak "Broken Home"

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline