Lihat ke Halaman Asli

Surat-surat Maria (2)

Diperbarui: 25 Juni 2015   07:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kepada,

Kamu

Aku sudah lelah berpetualang.  Mencarimu sampai ke ujung malam paling gelap.  Tidakkah engkau lihat bahwa tungkaiku seringkali merintih letih?  Bisakah – sekali saja- engkau datang dan kita bisa duduk di bangku taman.  Tidak usah bicara cinta, mari bicara tentang cuaca.  Tentang pergerakan arah angin dan awan-awan.  Apapun itu hingga kita mati bosan, asal jangan bicara cinta, seperti yang kau takutkan.

Penantianku atasmu tidak lagi memiliki satuan waktu.  Meski abadi adalah kata yang utopis, tapi aku ingin sekali mengatakan bahwa detik dan derap jarum jam tidak pernah menjadi sahabatku ketika menungguimu.

Surat-suratmu yang dulu, aku simpan di dekat jendela.  Agar angin bisa mengabarkan aroma tubuhmu kepada gunung-gunung, kepada derak patah pepohonan yang ditebangi di kotamu, kepada awan-awan hujan yang tak lagi berguna untuk menyuburkan tanah sebab sawah-sawah telah digusur paksa oleh para pengusaha, di kotamu.

Engkau berjalan, sesekali berlari dari tepi kota ke tepi yang lain untuk mencari apa yang kau sebut sebagai perlawanan terhadap segala macam kekalahan.  Andai engkau tahu betapa malam seringkali teramat genting ketika mengingatmu tak memiliki atap, tak memiliki kampuh untuk menahan dingin.

Jika saja cinta bisa ditakar, maka kedalaman dadaku akan menghancurkan semua timbangan.  Jika saja cinta bisa dinamai, betapa jutaan kata tak sanggup merangkai apa yang berderap di dalam sini.  Khayalanku tak pernah utuh, engkau selalu kembali menjadi bayangan yang begitu jauh.

(Bandung, 27 Maret 2012)




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline