Lihat ke Halaman Asli

Supartono JW

Pengamat

Di Tengah Pandemi Corona, Pemimpin dan Rakyat Kita Butuh Sastra dan "Nyastra"

Diperbarui: 2 Juni 2020   11:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: Supartono JW

Di tengah pandemi corona yang menyerang dunia dan mewabah di Indonesia, segala sengkarut yang kini terus bergolak di Indonesia, memang bila dianalisis lebih dalam, salah satu pangkalnya adalah keberadaan manusianya. 

Manusia tak bersastra 

Persoalan manusianya ini, banyak indikatornya, mulai dari pendidikan, karakter, kecerdasan intelegensi dan personaliti (emosi), sehingga dalam persoalan sopan santun dan budi pekerti, berbesar hati, tahu diri, rendah hati, menjadi sangat mencolok dan sekarang sangat nampak manusia-manusia Indonesia yang tak tahu malu, meski sudah dikritik dan dihujat namun tetap bergeming dengan apa yang diperbuatnya, meski manusia bernama rakyat pun sudah "berteriak", mereka tetap asyik duduk di singgasana atau kursinya.

Apa yang menjadi latar belakang mengapa kondisi manusia-manusia di Indonesia menjadi demikian? Jawabnya, satu di antaranya adalah masalah manusia yang "tak bersastra". 

Semoga kerusuhan di Amerika tidak menginspirasi rakyat Indonesia untuk ikut rusuh dan anarkis karena kondisi yang kini semakin menyiksa, pun rakyat juga semakin jauh dari kehidupan "bersastra". 

Setelah saya coba napak tilas, membaca-baca referensi artikel saya, khusus menyoal sastra dan kepemimpinan, kali ini coba saya pilih empat artikel yang masih sangat aktual dikaitkan dengan kondisi sekarang. 

Terutama wajib menjadi perhatian Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud). 

Dalam Harian Warta Kota, Senin, 30 November 2015, sudah saya tulis artikel dengan judul " Bila Pemimpin Bersastra". Lalu, pada Senin, 20 Maret 2017 di harian yang sama, saya tulis artikel dengan judul "Menggumuli Sastra, Anda Berbudi". 

Kemudian artikel dengan judul "Sastra: Antara Kebutuhan dan Pengajaran" yang saya tulis di Harian Pelita pada Rabu, 24 Januari 2001. 

Lebih jauh lagi, 20 tahun sebelumnya, dalam Harian Republika, Minggu, 20 Februari 2000, malah saya sudah menulis artikel dengan judul "Bila Sastra Berujung Tombak". 

Keempat artikel tersebut bila saya ungkap lagi latar belakangnya, semua tetap dalam satu benang merah, yang masalahnya tetap "kusut" hingga sekarang. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline