Lihat ke Halaman Asli

Supartono JW

Pengamat

Suburnya "Keminter dan Keblinger" di Negeri Ini

Diperbarui: 13 Januari 2020   10:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: BudayaJawa.id

Seiring perkembangan zaman. Hadirnya teknologi hingga munculnya medsos dan medion, menjadikan negeri ini dipenuhi oleh orang-orang "keminter" (sok tahu) sehingga membuat berbagai persoalan tambah "keblinger"(sesat dan keliru). 

Bila "dulu" banyak pihak berpikir bahwa gelar sarjana, master, doktor dan lain sebagainya saja dapat "dibeli" dan "hasil rekayasa" hingga muncul nama-nama bergelar yang tak mumpuni dalam bidangnya, maka kini tanpa gelar dan ijazah di bidangnya, banyak orang yang mengaku-aku sebagai ahli, tenaga ahli, profesional dan sejenisnya. 

Masih lekat dalam ingatan saya, saat  masih duduk di bangku SD, ada guru bertanya, "apa cita-cita kamu?" Saat itu saya menjawab ingin jadi doktorandus. 

Doktorandus atau disingkat Drs. merupakan gelar yang diberikan oleh universitas. Kata "Doktorandus" merupakan kata pungutan dari bahasa Belanda yang memungutnya dari bahasa Latin yang berarti "Ia yang akan dijadikan ilmuwan." 

Sementara, teman-teman lain ada yang bercita-cita menjadi dokter, Insinyur, tentara, polisi, hingga menjadi presiden. 

Sayang, selama menempuh jalur pendidikan hingga saya meraih gelar megister, rasa terdidik yang masih sangat melekat dan terasa adalah saat masih di TK, SD, SMP, dan SMA. 

Pada saat saya berproses dalam meraih gelar lanjutan, yang saya citakan hingga jenjang S-2, rasanya terdidiknya tak selekat saat berporses dari TK sampai dengan SMA. 

Bahkan untuk dapat menyesuiakan diri sebagai lulusan S-1 atau S-2 secara formal, saya harus menambah pembelajaran secara "otodidak". 

Artinya proses belajar dan ilmu yang didapat di bangku kuliah, hingga sampai meraih gelar, saya rasa belum cukup sepandan untuk diaplikasikan dalam dunia nyata, dunia pekerjaan, sesuai perkembangan zaman dan sesuai dengan gelar yang disandang. 

Bila ditelisik, jelas, masalahnya adalah ada pada kurikulum pembelajaran dan para dosen yang juga tak mengiringi langkahnya dengan perkembangan zaman. Sehingga "link and match" nya tidak nyambung. 

Bersyukur, kini hal tersebut sedang dibongkar-bongkar oleh Mas Nadiem, Mendikbud baru kita. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline