Lihat ke Halaman Asli

SISKA ARTATI

TERVERIFIKASI

Ibu rumah tangga, guru privat, dan penyuka buku

Ora Ngapak, Ora Kepenak: Jam Weker

Diperbarui: 23 Oktober 2020   07:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humor. Sumber ilustrasi: PEXELS/Gratisography

(Tulisan ini kisah nyata, pernah saya muat di menu Catatan - Facebook, pada 24 Juli 2009)

Ini kejadian saat libur semester jaman kuliah.

Sudah seminggu jam tanganku rusak karena jarum penunjuknya patah. Baterainya juga tidak berfungsi dengan baik meski sudah diganti dengan yang baru. Padahal hari itu tiba saatnya aku mau pulang kampung. Saat itu, rumahku masih di Brebes, Jawa Tengah.

Sudah terbayang bahwa perjalanan yang akan kutempuh dari Semarang ke Brebes, sekitar 4,5 jam (kalau naik bis). Tapi aku sudah memilih untuk naik kereta api saja, karena hanya membutuhkan waktu sekitar 2 jam. Itu pun hanya sampai turun di stasiun KA Tegal dan harus melanjutkan perjalanan lagi ke Brebes kira-kira setengah jam dengan angkutan umum.

Karena perjalanan yang cukup lama dan sudah pasti melelahkan, tentunya aku harus punya jam, untuk memastikan detail waktu, nantinya aku sampai di Kota Batang jam berapa, sampai di Pekalongan jam berapa, seterusnya sampai Pemalang, Tegal dan alun-alun Brebes. Belum lagi naik angkutan kota (angkot) menuju ke desaku.

Karena alasan di atas, maka kuputuskan untuk membawa jam weker kesayangan. Bentuknya kotak-kubus, berwarna hitam-kuning, ukuran lumayan sedang, kira-kira 10cm x 15cm x 10cm lah. 'Sing penting ana jam, gawa bae lah!' begitu batinku (Yang penting ada jam, bawa aja lah). So, kumasukkan jam weker ke dalam tas.

Singkat perjalanan, dari Semarang jam 7.10 pagi dan aku sudah tiba di alun-alun Brebes pukul 10-an, dan alhamdulilah langsung mendapatkan angkot menuju desaku.

Tapi, ini dia...

Berhubung penumpang angkot belum penuh -baru aku dan seorang penumpang penjual kain dagangan- maka si supir dan kernetnya masih santai saja sambil berkata padaku:

(logat ngapak mode on):
"Ngetem disit ya mbak, ngko ari wis penuh, nembe mangkat. Sing sabar ndhisit ya." Si Supir melirik melalui kaca spion untuk bercakap denganku. (Ngetem dulu ya, Mbak. Ntar kalau sudah penuh, baru berangkat. Sabar dulu ya).

Ya, ampun!  Aku gelisah pengen cepet pulang. Selain karena kondisi angkot yang panas, badan mulai keringatan. Untunglah satu per satu penumpang mulai memenuhi angkot. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline