Lihat ke Halaman Asli

Marulitua Simb

Sayangi Diri Anda

Banyak Penyerobot Lahan, Pembangunan Infrastruktur Terhambat

Diperbarui: 27 April 2018   12:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Maraknya kasus sengketa dan penyerobotan lahan PT. KAI (Persero) menjadi salah satu faktor penghambat untuk kemajuan transportasi kereta api Indonesia karena dengan adanya klaim lahan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab maka pembangunan infrastruktur akan tertunda. 

Di Padang PT. KAI harus berhadapan dengan Basko, pengusaha sukses yang mengklaim lahan dengan menunjukkan sertipikat atas nama Basko serta mengingkari perjanjian sewa. Selanjutnya di Palembang ada Arbain dan Ucok yang menggunakan Surat Keterangan Hak Milik berisi tanda tangan Camat dan pemohon tanpa koordinasi dengan Badan Pertanahan Nasional yang seharusnya dalam hal ini BPN mengetahuinya. 

Di Magelang pun PT. KAI harus berhadapan dengan RM Triyanto Prastowo yang mengaku sebagai keturunan dari HB VII dan berhak atas lahan sah milik PT. KAI (Persero) serta masih banyak lagi kasus-kasus sejenis yang tersebar di seluruh wilayah Jawa dan Sumatera.

Logikanya PT. KAI sebagai salah satu BUMN tidak mungkin mengklaim lahan milik seseorang, lantas apakah PT. KAI memiliki bukti kepemilikan atas lahan tersebut? Ya, mereka memiliki Grondkaart sebagai alas hak yang kuat dan sah secara hukum. 

Kurangnya pemahaman terhadap grondkaart membuat permasalahan semakin pelik, dimana para oknum tidak mengakui grondkaart dan akhirnya membawa kasus tersebut ke meja hijau. Hasil akhirnya sudah dapat ditebak, PT. KAI memenangkan kasus-kasus tersebut tentunya dengan menyajikan grondkaart sebagai salah satu bukti di pengadilan.

Grondkaart merupakan sebuah gambar penampang lahan yang dibuat untuk menunjuk suatu objek lahan dengan batas-batas tertentu yang tertera diatasnya. 

Dasar hukumnya ialah Staatsblad van Nederlandsch Indie tahun 1870 nomor 55 tentang Agrarische Wet dan nomor 118 tentang Agrarische Besluit dimana ditegaskan bahwa semua yang dianggap sebagai tanah negara (staatsdomein) dan diperuntukkan untuk fungsi khusus (bestemming) dibuktikan dengan grondkaart. 

Pembuatannya pun melalui proses yang tidak sembarangan, yakni dengan dasar surat keputusan oleh kepala pemerintahan pada masa itu. Jika ada perubahan atau revisi juga berdasarkan surat ketetapan pejabat yang berwenang setingkat direktur dalam birokrasi pemerintahan kolonial dan disetujui oleh wakil dari Kadaster atau yang dikenal dengan Badan Pertanahan Nasional.

Tidak hanya itu, grondkaart juga dilengkapi dengan bukti pengalihan hak dari pemilik lama jika sebelumnya dikuasai atau diokupasi oleh pihak lain dan dialihkan statusnya menjadi tanah pemerintah atau tanah negara. 

Tanah yang sudah dijelaskan dalam Grondkaart dan sudah berstatus sebagai tanah pemerintah tidak perlu lagi mengalami konversi termasuk konversi dalam PP nomor 11 tahun 1961 yang menuntut konversi hak barat. Hal ini dikarenakan statusnya adalah tanah pemerintah (Gouvernements Grond) yang tidak termasuk dalam hak-hak barat yakni hak milik (Eigendom), hak guna usaha (Erfpacht) atau hak guna bangunan (Opstal). Hal ini juga diperkuat dengan Keputusan Presiden nomor 32 tahun 1979 pasal 8 yang menegaskan bahwa semua tanah BUMN adalah tanah negara.

Selain itu Menteri Keuangan juga menerbitkan surat Nomor B-II/MK.16/1994 tanggal 24 Januri 1995 yang ditujukan kepada kepala BPN dimana dalam surat tersebut terdapat dua poin. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline