Lihat ke Halaman Asli

Mohammad Iqbal Shukri

Manusia penyuka sambel setan

Nabi Ibrahim Bukan Nabi Kriminal

Diperbarui: 11 Februari 2020   01:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gambar: islami.co


Siapa yang tidak kenal Nabi Ibrahim. Khususnya bagi umat muslim. Meskipun kita dikenalkan hanya melalui bentuk cerita-cerita dari guru atau orang tua kita. Dan cerita-cerita sang Nabi tersebut akan terus diwariskan pada anak cucu kita nantinya.

Namun dibalik cerita para nabi tersebut ada yang tidak bisa ditangkap oleh akal pikiran kita. Sebab akal pikiran kita terbatas. Sehingga kita hanya dituntut untuk mengikuti dan percaya.

Salah satunya dalam kisah penyembelihan yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim  terhadap anaknya yakni Nabi Ismail. Hal itu didasari atas wahyu yang diterima oleh Nabi Ibrahim melalui mimpinya. 

Dengan utusan agar menyembelih puteranya. Singkat cerita Nabi Ibrahim pun melakukan penyembelihan tersebut. Hingga kini peristiwa penyembelihan tersebut biasa umat Islam kenal dengan Hari Raya Idul Adha atau Hari Raya Qurban. 

Bedanya ritual penyembelihan diganti dengan hewan qurban seperti sapi, kambing dan lainnya yang boleh dijadikan sebagai hewan qurban.

Kritisisme atas Kisah Nabi Ibrahim

Dari wahyu yang di dapat oleh Nabi Ibrahim lewat mimpi tersebut. Tak ayal jika menimbulkan pro dan kontra dalam pandangan awam.  Sebab agama mengajarkan cinta dan kasih sayang, bukan kriminal atau kejahatan. 

Namun dalam hal ini kenapa Nabi Ibrahim mendapat utusan dari Tuhan untuk membunuh anaknya sendiri?

Sebuah perintah dalam mimpi tersebut telah meninggalkan nilai-nilai kemanusiaan. Yakni dengan menghilangkan nyawa sang anak. Kemudian timbulah anggapan bahwa terselip maksud kekerasan yang di legitimasi oleh agama. Hingga muncul sebutan Ibrahim adalah Nabi Kriminal.

Namun dalam pandangan kacamata pribadi penulis, kita bisa belajar dari berbagai  macam cerita terdahulu, boleh mempelajarinya. Namun yang tidak boleh adalah menafsirkan cerita tersebut dengan pandangan pribadi. Hingga tafsiran pribadi tersebut dijadikan kebenaran yang absolut.

Sebab kita belum tahu menahu tentang faktanya secara langsung. Kita hanya mendengar cerita dari mulut ke mulut. Dari tulisan ke tulisan. Lebih baik menjaga diri dengan sebaik-baiknya. Karena kita bukan Tuhan yang maha benar.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline