Lihat ke Halaman Asli

Muhammad Shoma

Wasis Solopos Angkatan XX

Bisakah Filsafat Menjawab Problem Kesehatan Mental?

Diperbarui: 11 Maret 2020   19:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

"Kapan terakhir kali kamu dapat tertidur tenang? (renggang) 
tanpa perlu memikirkan tentang apa yang akan datang 
di esok hari?" 

Kutipan lirik lagu yang berjudul Secukupnya milik Baskara Putra atau yang karib disapa Hindia itu kini tengah hangat di kalangan muda mudi. Pasalnya, tak hanya karena menjadi soundtrack film Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini, lagu tersebut juga dikarang Baskara dengan mengangkat tema kesehatan mental. Tema yang dewasa ini menjadi topik pembicaraan di pelbagai tempat.

Seperti yang dikutip dalam laman daring Suara.com, menurut Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) dr. Eka Viora, Sp. KJ, terdapat sekitar 15,6 juta penduduk Indonesia yang mengalami gangguan mental berupa depresi. Parahnya, angka ini diprediksi akan meningkat pada 2020 karena peningkatan jumlah penduduk atau lonjakan demografis.

Namun jangan lupa, gangguan mental tak hanya perihal depresi. Ia juga bisa menjelma sebagai gangguan kecemasan, gangguan obsesif kompulsif (OCD), gangguan stres pascatrauma (PTSD), dan lain-lainnya.

Mengatasi problem kesehatan mental secara makro bukanlah hal yang mudah. Tirto.id melansir, jumlah rumah sakit jiwa di Indonesia hanya terdapat 48 tempat. Selain itu, stigma negatif dari masyarakat perihal gangguan mental masih menjadi momok yang menakutkan.

Namun hal ini dapat diatasi melalui aspek mikro, yaitu mulai menata kesehatan mental dari diri sendiri. 

Bagaimana caranya? Salah satu caranya cukup jelas: filsafat.

Sebelum Anda berasumsi bahwa filsafat yang saya maksud adalah filsafat yang teoritis, membosankan, dan membuat kantuk, saya harus menegaskan bahwa anggapan itu salah.

Filsafat yang saya maksud adalah filsafat Stoikisme atau filsafat Stoa, sebuah mazhab filsafat Yunani Kuno yang praktis dan relevan menjadi laku tindakan bagi manusia kontemporer. Filsafat ini cocok bagi siapa pun dan mudah dipahami karena konsepnya yang populer.

Aliran filsafat ini didirikan oleh Zeno pada awal abad ke-3 SM di Athena, Yunani. Aspek dari filsafat Stoa melingkupi logika (retorika dan dialektika), fisika, dan etika (teologi dan politik). Dalam aspek etika, terdapat pandangan yang dinamai sebagai apatheia.

Apa yang dimaksud dengan apatheia adalah kondisi ketika manusia menjauhkan diri dari emosi-emosi negatif melalui beberapa laku tindakan. Karena seperti yang dijelaskan oleh para filsuf Stoa, bahagia adalah ataraxia, yang bersinonim dengan frasa not troubled (untroubled, undisturbed) atau bebasnya diri dari penderitaan, nafsu, hingga emosi negatif.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline