Lihat ke Halaman Asli

Shofwan Karim

DR. H. Shofwan Karim Elhussein, B.A., Drs., M.A.

Segar Ulang Islam Berkemajuan, Poros Minang-Jawa

Diperbarui: 23 Maret 2024   14:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Shofwan Karim, Lektor Kepala Pascasarjana UM Sumbar (Foto:Ist)

PERTANYAAN yang sering muncul di kalangan public umum adalah, apakah dengan diksi Islam berkemajuan ada pula Islam berkemunduran? Pemikiran ini bagai tesis dan antitesa serta bagaimana sintesanya.

Muhammad Darwis atau lebih dikenal KH Ahmad Dahlan (1888-1923) pada awal mendirikan Muhammadiyah (1912) sudah memulai diksi pendek, Islam berkemajuan. Sebenarnya, di Minangkabau wacana Islam berkemajuan secara intrinsik (makna hakiki dari dalam) sudah mendahuluinya.

Istilah kaum muda yang ada di Minangkabau kala itu menjadi mantra bagi kaum paham "modern" kala itu merespons perkembangan masyarakat. Oleh kaum tua kurang diperhatikan di awal abad lalu tersebut. Kira-kira kaum muda ini pemikiran mereka mirip dengan apa yang menjadi wacana dan ikhtiar Dahlan yang dimaksudnya berkemajuan.

Tokoh kaum muda merupakan hulu dinamika berkemajuan di Minang. Promotornya empat serangkai ulama. Mereka adalah Abdul Karim Amrullah (1879-1945) atau Inyiak Rasul-Inyiak DeEr. Abdullah Ahmad (1878-1933) keduanya tahun 1925 beroleh Doktor Kehormatan (Dr.HC) dari Universitas Al-Azhar, Mesir (bukankah ini berkemajuan?).

Syekh Djamil Jambek (1860-1947). Serta Ibrahim Musa Inyiak Parabek (1884-1963). Dengan begitu agaknya bisa disebut bahwa diksi Islam berkemajuan itu bagai air hujan yang datang dari langit nusantara menggenang di dua danau. Danau itu mengalirkan dua poros sungai kemajuan: Minang dan Jawa.

Bila ditilik dari pemahaman pemikiran dan logika masa awal tadi maka perdefinisi Islam berkemajuan lebih kepada makna memahami dan mengamalkan akidah tauhid murni. Ibadah yang murni tak bercampur dengan khurafat, takhayul dan bid'ah, bersih dari budaya nenek moyang serta kultur lokal.

Mereka agaknya derkelindan dengan kaum apa yang dinamakan di Arabia sebagai kaum al-muwahidun. Penganut tauhid mutlak. Secara teoritis, inilah yang sering disebut sebagai purifikasi atau pemurnian agama.

Sejalan dengan itu, tidak cukup dengan permurnian, Islam harus membumi untuk ikhtiar kehidupan yang baik di dunia. Doa "sapu jagat" memohon kebaikan di dunia dan akhirat harus diiringi dengan paralelisme kedua konten pokok tadi.

Maka untuk tujuan dunia, itulah makna kemajuan dan pembaruan atau modernisme. Bersamaan dengan itu untuk kebaikan akhirat inilah pada masa itu yang disebut pemurnian tadi.

Yang pertama dipahami sebagai tajdid dan yang kedua dipahami sebagai tashlih. Agaknya perdefinisi itulah yang dikonstruk ulang atau redefinisi oleh Dahlan, ketika kata berkemajuan menjadi membumi ketika Dahlan selama 8 bulan mengajarkan kepada santrinya mempraktekkan isi surat surat al-Ma'un.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline