Lihat ke Halaman Asli

Alamsyah

Ganbareba Dekiru

Celoteh tentang Konsepsi Menggenap

Diperbarui: 11 Juni 2021   09:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dok. pribadi

Lama.. Sudah terasa lama sekali sob.. Saya ingin mencoba merangkai untaian kata yang sudah tertanam di alam bawah sadarku dalam sebuah tulisan.. Ini bukan hanya tentang saya, juga bukan hanya tentang kalian. Ini tentang kita. Ya, setiap kita semasa di Dago 367 (STKS Bandung) seringkali membahas tentang rencana masa depan, keinginan ngebolang bareng di belahan bumi yang lain (saat ini sih petualangan terjauh masih di Chennai India) hingga celoteh tentang itikad masing-masing dalam ikhtiar menyempurnakan agamanya..hehe

Untuk pembahasan yang disebut diakhir, rasanya bersyukur sudah karena masing-masing dari kita telah menyempurnakannya. Membaca tulisan ini, mungkin kalian menganggap bahwa saya sedang mencoba mengurai masa-masa galau kita. Entahlah, yang saya tau galau kini seolah menjadi terminologi untuk segala pembicaraan terkait konsepsi hubungan. Sedikit bias, beberapa lainnya mungkin antusias, seolah mewakili gejolak yang ada di dalam hatinya. Selebihnya, mungkin apatis, namun entahlah..he

Menjadi hal yang wajar, jika setiap kita yang dianggap telah matang dan mapan, konsepsi terkait hubungan terutama dalam konteks pernikahan akan ramai dibicarakan. Tulisan ini hadir bukan untuk membangun kegelisahan yang merisaukan sob, namun mencoba menjadi salah satu sarana kecil membangun persiapan dan sedikit refleksi bagi orang yang sedang, akan, atau telah membangun mahligai pernikahan.

Ingin saya awali bahasan dari fenomena "menggenap" yang bombastis ini..(agak lebay sih,he) Beberapa orang yang saya kenal memilih menikah di usia sangat muda, ketika duduk di bangku perkuliahan di kota kembang dulu, bahkan ada senior seingatku aktif di organisasi KMM (Keluarga Mahasiswa Muslim) STKS (Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial) berhasil dalam KKN (Kuliah, Kerja, dan Nikah). Sebaliknya, beberapa orang lain memilih menikah di usia yang cukup matang, selaras dengan pencapaian dan kemapanan kariernya. Fenomena tersebut menjadi sebuah kondisi yang wajar memang. Hal yang kemudian menjadi tak wajar adalah ketika satu sama lain saling membanggakan dan memengaruhi orang lain terkait usia pernikahan mereka. Bahwa menikah muda itulah yang terbaik. Atau justru sebaliknya, kalangan yang menikah di usia matang mencibir mereka yang menikah muda seolah gegabah, terlalu tergesa-gesa. Lantas, kira-kira manakah yang lebih baik?

Saya mengira terlalu dangkal jika kebaikan sebuah pernikahan sekadar dilihat dari segi usia kapan mereka melangsungkan pernikahan. Bagi saya, keputusan menikah muda maupun menikah di usia matang keduanya sama-sama baik, sama-sama hebat, tergantung konteksnya. Iya kan sob?

Menikah muda dengan alasan telah siap lahir batin, menyambung tali kasih sayang, menjaga kesucian dan menjaga kehormatan diri, menghasilkan banyak anak-anak hebat di kondisi orangtua yang masih produktif dan sehat tentu alasan yang tepat. Menikah nanti dengan alasan merasa belum mampu untuk menambah tanggung jawab dan merasa masih mampu menahan gejolak hasratnya sehingga memilih untuk terus mengisi dan memperbaiki diri terlebih dahulu, itu pun baik, sama-sama hebat.

Saya pernah ditanyain dan digoda (ce..ileeh) sama teman sewaktu baru beberes kuliah dulu.. redaksinya kurang lebih gini sob.. "Junior tuh sudah pada nikah, terus kamu kapan? Masa' dilambungko? (in makassarese artinya kok didahului?)". Terus terang bagiku, pernikahan itu bukanlah sebuah perlombaan. Jadi tidak tepat sebenarnya jika masih ada terminologi 'terlambat menikah' ataupun 'terlalu cepat menikah'. Seharusnya semua orang paham bahwa jodoh adalah rahasia Tuhan. Sayangnya, tetap saja banyak yang masih punya definisi tentang 'terlambat menikah', atau sebaliknya 'terlalu cepat menikah'. Tidak ada standar kapan harus menikah, karena semua orang khas. Jika tiba masanya, maka pasti akan terjadi, begitu hemat urang sob..he

Mungkin kita sadar, banyak sekali buku di pasaran atau artikel di media online yang bertujuan mengajak pembacanya menikah muda. Begitu pula acara-acara seperti seminar, talkshow, yang tema nya tak jauh dari menikah muda pun ramai di datangi. Marketnya siapa lagi kalo bukan anak muda. Karena banyak peminatnya, maka menjadi logis kalau pembahasan dan acara-acara ber-genre menikah muda cukup ramai kita temukan.

Tak ada yang salah sebenarnya dengan buku atau acara terkait dengan ajakan menikah muda. Hal ini pun saya pikir muncul sebagai solusi atas keprihatinan akan kondisi anak muda masa kini. Daripada terpaut dengan hubungan yang aneh-aneh dan tidak jelas, alangkah lebih baiknya diarahkan untuk menuju hubungan pernikahan. Begitu mungkin simpulan yang saya dapat.

Kalau kita lihat positifnya, para anak muda mungkin akan termotivasi untuk menikah. Termotivasi mempersiapkan kondisi lahir batin untuk bersanding dengan sang pujaan hati. Yang tadinya malas belajar jadi semangat belajar. Yang santai-santai saja mencari penghasilan, jadi semangat dalam bekerja.

Nah, lalu kalau dilihat negatifnya? Saya khawatir semangat menikah begitu menggelora di dada. Hanya terpesona pada kenikmatan yang di dapat dalam pernikahan, namun belum ada persiapan apa-apa. Jangan sampai kita lupa bahwa menikah dikatakan menyempurnakan setengah agama dikarenakan berat perjalanan yang akan dilaluinya. Memiliki persiapan yang cukup, mutlak menjadi keharusan. Bukankah gagal mempersiapkan berarti mempersiapkan kegagalan?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline