Lihat ke Halaman Asli

Shinta Harini

From outside looking in

Lima Puluh Satu Alasan

Diperbarui: 8 Agustus 2021   05:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(Foto: Predra6 dari Pixabay) 

“Oh Tuhan,  aku rindu padanya.  Aku sangat rindu padanya!”

Dari balik telapak tangannya yang menutupi wajahnya erat-erat, terdengar sedu sedan. Tak ada gunanya, pikirnya pahit, penuh keputusasaan. Betapapun kerasnya ia memohon, Tuhan tetap tak akan berubah pendirian. Sebetulnya ia mengerti bahwa Tuhan sudah punya rencana mendetil untuk seluruh jagat raya. Tak akan ada perubahan hanya karena seorang malaikat kecil seperti dirinya didera rasa rindu yang sangat dan berharap bahwa orang yang dirindukannya segera ditarik ke surga untuk mengobati rindu itu. Apalagi ia tahu pasti bahwa hari ini menurut waktu Bumi adalah hari ulang tahun orang yang sangat ia cintai tersebut.

Terdengar tangis tertahan yang kemudian diikuti oleh isakan-isakan kecil dan helaan nafas ketika malaikat kecil itu mulai bisa menguasai dirinya. Dilepaskannya tangannya yang basah bersimbah air mata dari wajah mungilnya yang muram. Diletakkannya kedua belah tangannya di atas meja. Dilihatnya sekeliling, ia bahkan merasa jauh lebih kesepian dan menderita. Tuhan, bagaimanapun, telah menjawab permohonannya dan membuatnya berpikir mengapa ada orang yang harus tetap tinggal di dunia. Tapi ia tak hanya harus berpikir. Tuhan juga menyuruhnya menuliskan alasan-alasan di balik hal itu.  

“Mungkin kau tak bisa mengerti alasan-Ku yang sesungguhnya,” jelas Tuhan, membantunya mengerti keadaan. “Atau mungkin,  kau tak akan pernah tahu apa alasan-alasan itu karena semuanya adalah rahasia jagat raya. Tapi luangkanlah waktu untuk memikirkannya. Cobalah bayangkan apa yang sekiranya akan kaulakukan – seandainya kau ada di posisi-Ku.”

Malaikat kecil itu berdiri terpaku kebingungan dengan mata nanar. Lalu tiba-tiba ia menjatuhkan diri, berlutut dan membungkuk dalam-dalam.    

“Ampuni aku, Tuhan. Aku tak akan berani, Tuhanku. Tak mungkin aku akan berani membayangkan berada di posisi-Mu.”

Tapi Tuhan hanya menyunggingkan senyum kecil. Penuh pengertian.

“Tentu tidak. Tapi bagaimana lagi caranya Aku bisa membuatmu mengerti akan hal ini? Aku tahu kau sangat menyayangi ibumu. Aku tahu kau harus ‘terbang’ jauh dari sisinya dan meninggalkannya di saat kau masih sangat kecil...”  

"Tiga tahun," sela Hannah dalam bisik yang pilu.

“Ya, tentu aku ingat. Waktu itu kau baru tiga tahun,” balas Tuhan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline