Lihat ke Halaman Asli

Septia Rahayu

Mahasiswi Universitas Airlangga

Dari Swasta untuk Negeri: Inovasi dan Solusi Labuan Bajo Premium

Diperbarui: 3 September 2025   09:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

https://photo.sindonews.com/view/63189/jejak-keindahan-pulau-padar-pesona-alam-labuan-bajo-yang-tak-terlupakan

Labuan Bajo, yang terletak di ujung barat Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur, telah ditetapkan pemerintah sebagai salah satu Destinasi Super Prioritas atau yang lebih dikenal sebagai Destinasi Super Premium. Kebijakan ini lahir dari keinginan pemerintah untuk menghadirkan 10 destinasi unggulan baru di luar Bali, yang mampu menarik wisatawan kelas menengah ke atas serta meningkatkan devisa negara. Tujuan utama dari konsep "super premium" adalah mendorong quality tourism: wisata yang lebih eksklusif, berkelas, dan berfokus pada nilai tambah. 

Ada beberapa isu penting yang diangkat dari permasalahan ini, antara lain: 

  1. Dominasi investor besar

Pembangunan fasilitas pariwisata skala besar seperti hotel, resort, dan atraksi premium sebagian besar dikendalikan oleh investor dari luar daerah. Hal ini menimbulkan kesenjangan, karena masyarakat lokal sering kali tidak mendapat peran utama dalam industri pariwisata yang berkembang di daerah mereka sendiri. 

  1. Marginalisasi masyarakat lokal

Warga lokal cenderung hanya menjadi penonton atau pekerja dengan posisi terbatas, bukan pemegang keuntungan utama. Bahkan dalam beberapa kasus, akses mereka terhadap ruang hidup, pesisir akan terancam oleh pembangunan pariwisata skala besar.

  1. Ancaman terhadap lingkungan

Pembangunan infrastruktur dan peningkatan jumlah wisatawan juga menimbulkan kekhawatiran terhadap keberlanjutan ekosistem. Habitat komodo, terumbu karang, dan hutan di kawasan sekitar Labuan Bajo menjadi rentan terhadap eksploitasi berlebihan jika pariwisata tidak dikelola dengan bijak

Transformasi Labuan Bajo menjadi destinasi wisata super premium membawa cerita yang kompleks bagi para pelaku industri pariwisata lokal. Meski jumlah wisatawan meningkat, tingkat okupansi hotel justru menurun karena wisatawan lebih memilih pengalaman "live-on-board" di kapal phinisi. Pada Maret 2025 tingkat okupansi hotel bintang lima hanya mencapai 21,3%, hotel bintang empat 30,4%, dan resort 43,5%, dengan penurunan rata-rata sebesar 2,77% dibanding bulan sebelumnya. Data ini menunjukan adanya ketimpangan antara investasi besar di sektor akomodasi dengan daya serap pasar wisata yang nyata. 

Wisata premium juga menyulitkan UMKM bersaing karena adanya standar yang tinggi dan harga mahal membuat pendapatan lebih banyak mengalir ke pemegang modal besar. Tanpa pelatihan, akses permodalan, dan kebijakan afirmatif, UMKM bri risiko semakin terpinggirkan dari rantai ekonomi pariwisata. 

Kebijakan pemerintah untuk menaikan tarif kunjungan ke Taman Nasional Komodo hingga Rp3,75 juta per orang justru memperkeruh kondisi. Meski langkah ini memiliki tujuan untuk mengantisipasi mass tourism dan meningkatkan kualitas pengalaman wisata, kebijakan tersebut justru menimbulkan dampak negatif yang luas. Banyak agen perjalanan kehilangan pelanggan, kapal wisata dijual karena tidak lagi beroperasi, dan rantai ekonomi lokal seperti pemandu, pengusaha kuliner, hingga pedagang souvenir mengalami penurunan pendapatan drastis.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline