Aku lahir kembali setiap hujan datang. Saat aroma tanah basah (kembali) mengikat jejak. Hujan seperti ibu yang melahirkan ketegaran-ketegaran lapang. Aku menyukai hujan seperti menyukai ibu. Menunggu hujan seperti menunggu ibu. Hujan dan ibu adalah sepasang sayap kupu-kupu berwarna bening nan anggun. Demikian aku menganggap hujan adalah ibu.
Aku pernah menghabiskan hujan di jalan-jalan sepi, di terminal bus, di kamar-kamar kos, di stasiun kereta api, di teras rumah-rumah tumpangan, juga di pesawat yang membawaku terbang ke kota kita. Aku pernah memandang hujan turun di kota Batavia, di kota malang, di kota Yogyakarta, di kota Kediri, di Surabaya, juga Wonokromo, kota kecil yang sering diceritakan Pramoedya Ananta Toer dalam novelnya. Dan sudah tentu, aku pernah menghabiskan banyak waktu menjelajah hujan bersamamu di kota kita, Soe. Tapi. Ya. Di mana kau? Ijazah yang kau inginkan sudah kubayar sesuai jumlah yang diminta dan yang kuminta padamu. Rasanya aku sudah tak ingin apapun. Aku ingin bertemu denganmu.
***
Aku sudah menepi di rumah yang dulu kita tinggali. Menghabiskan waktu dengan berkebun, beternak, menunggumu, juga menunggu ibu. Di musim tanam, ibu menjenguk lebih sering dari biasanya. Meski kau tahu, cuaca kota kita selalu memberi ruang pada ibu untuk menjengukku, meski kemarau sekalipun.
Ibu selalu datang dengan cerita, ada kalanya ia mengingatkanku tentang pertengkaran-pertengkaran kita yang dulu. Pertengkaran sepele di awal musim tanam, di akhir bulan Desember, juga saat mata-mata air sekarat di penghujung kemarau. Ibu adalah kaset tua tempat segala kenangan lampau tersimpan. Ada kala aku bahkan tak benar yakin apa yang ibu tuturkan (kembali) benar. Tapi rasanya ibu memang tak mungkin pula berbohong ketika aku demikian berharap segala cerita hidup kembali.
Setelah kemarau datang beberapa kali dan anak sapi yang kuberi padamu kini beranak dan beranak lagi tanpa sekalipun kau tahu adanya. Aku bahkan harus menjual beberapa diantaranya agar tak ikut menua seperti aku. Lebih tepatnya rinduku. Rindu yang cukup tua untuk dipanen musim ini. Kau tahu cara memanen rindu yang merah ranum ini?
***
Seperti tujuh warna pelangi yang tak pernah kutafsir mengapa dan bagaimana adanya. Aku tak pernah bertanya mengapa dan bagaimana jahitan seperti jalan raksasa pekat yang sepi dan misterius itu pindah ke dadamu.
Kurasa semua cukup jelas. Setelah malam-malam panjang kuhabiskan dengan gamang dan sekarat. Aku telah merumuskan sebuah jawaban yang mantap kuberikan kepada siapa saja untuk menjawab pertanyaan apa saja.
"Tidak ada keterangan."
Aku akan menutup semua cerita yang datang dari orang-orang yang membawamu pulang. Ada ibu yang menyambutmu ketika kotak kayu terbenam dalam timbunan tanah basah. Aku akan merindumu. Setiap kali hujan datang. Saat aroma tanah basah (kembali) mengikat jejak. Kini hujan tetap ibu yang melahirkan ketegaran-ketegaran lapang. Aku mengenang hujan untukmu berdua.
Kupang,
05 Desember 2018
Salam,
Sayyidati Hajar