Lihat ke Halaman Asli

Akhmad Saefudin

An Amateur Writer

Ramadan, Berkah, dan Krisis Kebahagiaan

Diperbarui: 22 April 2021   13:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: dompetdhuafa.org

PERNAHKAH kita merasa bahwa kualitas kita sebagai manusia lebih buruk dibanding manusia lainnya? Kalau merasa lebih baik dari orang lain mungkin sering kali ya, hehehe. Tetapi pengalaman kecil penulis berikut ini mungkin bisa memberikan gambaran.

Suatu waktu saya dibuat pusing dengan tagihan tunggakan SPP anak saya. Nyaris setahun, jadi jumlahnya lumayan. Bukan soalan jumlah nominal yang membuat kepala ini pening, melainkan kondisi keuangan saat itu memang sedang tiarap. Terlebih, ini juga jadi pengalaman pertamaku sebagai Ayah yang menyekolahkan anak pertamanya di jenjang PAUD.

Paginya, aku berinisiatif mencari peluang rezeki. Mentok-mentok ya ngutang dulu ke kawan.

Tetapi dari pagi sampai jelang tengah hari, jangankan hasil, isyarat pun sepertinya taka da.

Saking pusingnya, aku mampir ke mushola terdekat untuk istirahat sekalian shalat dzuhur. Akupun shalat berjamaah, berharap beroleh ketenangan. Paling tidak biar kepala sedikit rileks.

Sayangnya, shalat ternyata gagal menenangkanku. Sampai keluar dari mushola, sambil mengenakan sepatu, sayup-ayup kudengar lagu Diana Ross, When you tell me that you love me. Panas-panas dengerin lagu syahdu ini, adem rasanya. Hamper saja  mengalihkan dunia, eh peningnya kepala.

Saat itu, aku bahkan sampai tersugesti mencari sumber tembang merdu itu. Yang membuatku kaget, ternyata lagu Diana Ross itu berasal dari ponsel jadul seorang abang tukang becak. Sementara si abang tertidur pulas di joknya.

Huft! Awalnya aku protes, hebat betul selera musik si abang tukang becak. Bahkan untuk penghantar tidur, dia mendendangkan tembang hits salah satu diva pop dunia. Tetapi mendadak kesadaranku tersentak. Aku jadi berpikir. Lelaki paruh baya yang mengayuh becak untuk menafkahi anak istrinya ini bisa begitu lelapnya beristirahat. Sementara aku yang tinggal di rumah cukup lapang dengan spring bed empuk, kesulitan nyenyak hanya gara-gara kesulitan memenuhi kebutuhan anakku. Agh, malu aku. Padahal, meski sedang sulit, isi dompetku saat ini mungkin lebih banyak dari si abang tukang becak,

Entah kenapa, dalam aspek tertentu saya merasa abang tukang becak ini lebih mampu menangkap makna ketenangan dan bahkan kebahagiaan dibanding saya  yang tidak jarang sok-sokan merasa lebih berpendidikan, berkualitas hidup lebih baik. Dia mampu menghayati ketenangan hidup di tengah kehidupannya yang mungkin pas-pasan, sementara saya yang sering diberi kelebihan materi sudah kelimpungan menghadapi satu masalah hidup: Uang. Padahal, dulu saya juga berangkat dari serba kekurangan, bahkan miskin. Tetapi bayangkan, hanya karena satu masalah kecil, saya justru seolah mempersulit diri sendiri untuk bahagia. Masalah biaya sekolah anak sedemikian menyita, hingga hak tubuh untuk beristirahat di malam hari pun ikut tersandera.

Bukankah fakta kehidupan juga tidak sedikit memberikan gambaran atas fenomena ini. Satu sisi kita dipertontonkan dengan sedemikian mudah dan tenangnya seorang tukang becak untuk tidur di balik joknya yang mungil dan sempit. Padahal, dia juga menghadapi masalah yang mungkin sama, harus mencari nafkah untuk memastikan bisa makan setiap hari. Pada sudut yang lain, kita mendengar dan melihat, orang-orang kaya yang stres hingga depresi,  kesulitan mengontrol isi kepala yang meluap-luap, seolah hendak meledak. Bahkan tidak sedikit yang terpaksa mengkonsumsi obat penenang, pengundang kantuk, agar benar-benar bisa tidur nyenyak. Lantas, siapa yang sebenarnya hidup "cukup"?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline