Lihat ke Halaman Asli

Nurul Fauziah

Mencintai tulis-menulis

Tokoh Utama: Bebal

Diperbarui: 11 Juni 2021   16:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber Foto: Kanenori via Pixabay

Tajam tatap mata hitamnya menguar dingin.
Helaan napasnya terasa bagai salju di musim dingin.
Hatinya berlubang ditiup angin.
Bimbang jiwa sulit diubah walau ingin.

Ia lupa, ia berhak bahagia.
Terjal neraka mengubah harapan menjadi dusta.
Desah resah bagai ombak menggulung dada.
Aku paham. Kawan ini hanya cemas dengan caranya.

"Apa kau takut?
Pagi menuju petang, kau mengurung diri dalam selimut.
Kau menilai dunia bagai malam berkabut.
Namun, tinggi hatimu menolak tuk berlutut."

"Kau pandang semesta seakan musuhmu.
Jadi, tulus niat dan tindak tak masuk akal bagimu.
Kau berpikir, apa mereka mengasihanimu?
Kalau begitu, apa kau juga mengasihaniku?"

"Kau pasti dengar bisikan mulut ke mulut.
Lantas tak kuasa dirimu menahan kalut.
Aku tahu. Kau bertanya karena takut.  
Kau menolakku, pikir imbas oleh nerakamu aku tak patut."

"Dengar. Beraniku, bukan berarti aku tak takut."

"Aku tak pernah mengasihanimu.
Aku begini bukan hanya karena kau kawanku.
Memilih menjadi baik, asaku seperti itu.
Jadi, ragu-ragumu pada tulusku serasa hina untukku."

"Memaafkan luka bukan karena pantas dimaafkan.
Namun relung jiwamu butuh ketenangan.
Seperti rembulan di atas sana yang tak tersaput awan.
Tolong jangan mengejek setiaku, kawan."

Napasku rasanya berat. Dingin malam memelukku erat.

"Ngomong-ngomong, kau sungguh bebal.
Bodoh. Abai rasa. Pongah akal."
Maaf. Tak tahan nada suaraku penuh sesal.
Kau menggigit bibir, menunduk. Ikut menyesal.

"Maafkan aku, meragukanmu." 


[Saning bakar, Solok, 11 Juni 2021]




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline