Lihat ke Halaman Asli

Satrio Arismunandar

Penulis buku, esais, praktisi media, dosen ilmu komunikasi, mantan jurnalis Pelita, Kompas, Media Indonesia, Majalah D&R, Trans TV, Aktual.com. Pendiri Aliansi Jurnalis Independen (AJI).

Krisis Afganistan dari Perspektif Kepentingan Nasional Indonesia

Diperbarui: 5 September 2021   05:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Keamanan. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Pixelcreatures

Kemelut di Afganistan terjadi, di mana kelompok Taliban "berhasil" mengambil alih kekuasaan di Kabul dan membuat Presiden Ashraf Ghani minggat ke luar negeri. Namun, banyak pihak di berbagai negara kawasan, termasuk di Indonesia, masih "mencurigai" kehendak politik Taliban.

Adakah kesungguhan Taliban untuk menciptakan perdamaian dan harmoni di Afganistan, serta kawasan Timur Tengah dan dunia Islam? Serta, bagaimana pandangan tokoh-tokoh kebangsaan di Indonesia dalam melihat krisis politik di Afganistan dari sisi kepentingan nasional Indonesia?

Topik itu ditanggapi beragam dalam webinar, yang diselenggarakan oleh Fokus Wacana UI, bekerjasama dengan BEM Pascasarjana Unusia (Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia) di Jakarta, Sabtu (4/9/2021).

Serial Webinar kali ini menghadirkan nara sumber di antaranya: Dr. Suaib Tahir dari BNPT, Rikard Bagun (Dewan Pengarah BPIP), Dhia Prekasha Yoedha (jurnalis senior, pendiri Aliansi Jurnalis Independen), Dr. Satrio Arismunandar (Pemimpin Redaksi majalah pertahanan Armory Reborn), dan Dr. Hadijoyo Nitimihardjo (tokoh nasionalis Indonesia).

Webinar dibuka dengan pengantar dari Bob Randilawe (co-founder Fokus Wacana UI), Eko Wahyudi (BEM Pascasarjana Unusia), dan sambutan Dekan Fakultas Islam Nusantara Unusia Jakarta, DR. Ahmad Suaedy, M.A.

Tidak Cuma dari Sisi Agama

Dalam pengantarnya, Bob Randilawe menegaskan, memandang krisis Afganistan tidak bisa hanya dari sisi agama, tapi juga dari perspektif kebangsaan dan hak kesejarahan suatu masyarakat untuk mendirikan negara merdeka dan berdaulat. Pembukaan UUD '45 mengamanatkan, Indonesia wajib menjaga perdamaian dunia yang abadi dan sentosa.

Dhia Prekasha Yoedha menambahkan, pembukaan UUD '45 juga menekankan bahwa "kemerdekaan adalah hak segala bangsa" dan segala bentuk penindasan dan penjajahan harus dihapuskan dari muka bumi.

Yoedha menyitir ucapan Sukarno bahwa kita tidak boleh "komunisto-phobia" dan "islamophobia" karena akan mengunci katup-katup dialog antarnegara berdaulat.

Hadijoyo Nitimihardjo mengingatkan, dunia Islam dan banyak negara berkembang di dunia bisa meraih kemerdekaan dari hasil "Dasasila Bandung" tahun 1955, yang diprakarsai Bung Karno. Hampir 40-an negara berhasil merdeka setelah pertemuan Dasasila Bandung, yang kemudian melahirkan Gerakan Non-Blok.

Pendapat yang sama juga disampaikan Dr. Suaib Tahir dari BNPT, bahwa masalah Afganistan jangan semata dilihat dari masalah agama. Tetapi yang lebih penting adalah permasalahan kebangsaan mereka, di mana secara kebetulan Indonesia dan Afganistan sama-sama berpenduduk mayoritas Islam.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline