Lihat ke Halaman Asli

Tujuhbelasannya Mundur, Tapi Hidup Terus Maju

Diperbarui: 27 Agustus 2022   20:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Bulan Agustus 2022 sudah hampir berakhir, tetapi peringatan HUT Kemerdekaan ke 77 masih terus berlangsung. Di Kelurahan tempat penulis tinggal, acara puncak malah baru diselenggarakan pada tanggal 27 Agustus 2022. 

Maka, perayaan yang biasa disebut tujuhbelasan, tidak dirayakan di tanggal 17, tapi tanggal 27. Sepuluh hari "mundur". Itu semata karena beranekaragamnya acara dan panjangnya rangkaian perayaan. Rangkaian acaranya sendiri sudah dimulai di setiap RT sejak awal bulan Agustus. 

Di "satuan terkecil dan terdepan" pemerintahan yang disebut RT inilah dinamika dan romantika kehidupan bernegara berujung dan berdenyut. Kali ini denyutan terasa dari semarak, meriah, ramai dan hidmatnya perayaan 17-an. 

Antusiasme warga di RT ini cukup tinggi, tercermin dari semangat warga pada kegiatan membersihkan lingkungan, memasang umbul-umbul dan bendera di halaman rumah serta membarui cat marka jalan. Bahkan begitu antusiasnya, meskipun cuma gang dan jalan setapak marka jalan tetap dibuat. Dari sinilah perayaan mulai tampak semarak dan meriah. 

Kemeriahan dan kehangatan semakin terasa saat RT mulai mengadakan berbagai jenis lomba, permainan, seni, olahraga dan atraksi dengan hadiah hiburan menarik untuk para pemenang. Prioritas utamanya bukan mencapai prestasi, tetapi membangun dan meraih kebersamaan dan kesetaraan. 

Puncak acara perayaan RT diselenggarakan di atas panggung yang dipersiapkan di sebidang pekarangan kosong milik salah satu warga. Pekarangan kosong yang semula semak belukar dalam waktu singkat berubah bersih berkat kerja "gotong royong" warga dalam sebuah kerja bakti. Kerja bakti, artinya kerja untuk kepentingan bersama dengan salary (upah) diganti aneka rupa jajan. 

Layaknya puncak perayaan, di sini juga ada jamuan makan dan minum. Jamuannya cukup "mewah" berupa makan besar dengan menu empat sehat tanpa minum susu sebagai tanda kesempurnaan menu. Tidak semua perut warga akrab dengan susu, ada yang malah mencret karenanya. Orang lebih memilih teh, kopi dan sedikit gula. 

Pada acara puncak, kesetaraan dan kebersamaan warga tampak sangat nyata pada saat bersama-sama berjoget, menari dan bernyanyi. Semua warga boleh ambil bagian meramaikan acara tanpa pandang bulu, berapapun umurnya, apapun pekerjaannya, status sosialnya, yang merasa kaya atau miskin, dan laki maupun perempuan. Maka acaranya berlangsung semarak bukan kepalang dan ramai bukan main. 

Para pengamat lokal dan "amatiran" mengatakan, perayaan yang berlangsung meriah dan tumpah ruah tak tertahankan itu terjadi lantaran masyarakat sudah hampir tiga tahun ini "kering" dan "sepi" dari keramaian. Sepi dan kering tersumbat pandemi. Kini, sumbatan sekaligus dahaga hiburan masyarakat jebol dan terobati.

 Cukup menakjubkan, di tengah masyarakat yang serba seadanya itu, apapun bentuk perayaannya, semua berlangsung meriah sampai ke penghabisan. 

Kemeriahan dan keramaian itu diraih bukan karena atributnya yang glamour, atau makanannya yang mewah, mahal dan melimpah. Juga bukan karena mahalnya tarif penghibur dan wangi parfum tubuhnya. Semarak perayaan yang nyaris sampai ke dalam sumsum tulang bisa terjadi hanya karena warga merasakan kebersamaan dan kesetaraan. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline