Lihat ke Halaman Asli

Sari Azhari

Mahasiswi Institut Agama Islam An-Nadwah Kuala Tungkal

UMR dan Mimpi yang Terpaksa Dikecilkan

Diperbarui: 20 Juni 2025   08:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Seratus ribu tersisa bukan untuk ditabung, tapi untuk bertahan hidup.

Bagi sebagian orang, angka UMR hanyalah data tahunan yang naik beberapa persen, simbol keberhasilan administratif yang diumumkan dengan wajah bangga. Namun bagi jutaan pekerja, UMR adalah kenyataan yang harus dibagi-bagi setiap hari: untuk makan, sewa, transportasi, dan, kalau masih tersisa, sedikit ruang bernapas.

Hidup di kota besar dengan upah minimum bukan lagi soal gaya hidup, tapi soal bertahan hidup. Setiap harga naik sekian rupiah adalah pukulan, dan setiap keinginan pribadi harus antre di belakang kebutuhan primer. Banyak yang akhirnya terbiasa menyederhanakan mimpi bukan karena malas bermimpi, tapi karena hidup tak memberi cukup ruang untuk itu.

Pekerja dengan gaji UMR sering dicitrakan tidak produktif atau kurang ambisius. Padahal kenyataannya, mereka bekerja lebih dari delapan jam, lembur tanpa bayaran layak, dan tetap membawa pulang rasa cemas setiap akhir bulan. Mereka bukan tak ingin menabung, bukan tak ingin belajar hal baru, tapi waktu, tenaga, dan uang sudah habis untuk bertahan.

Ada ironi yang tak bisa diabaikan: di kota-kota megapolitan, gedung pencakar langit dibangun di atas keringat pekerja bergaji minimum. Mereka membangun impian orang lain, tapi sering kali bahkan tidak mampu menyewa ruang layak untuk tidur.

UMR seharusnya menjadi jaring pengaman, bukan justru menjadi batas bawah stagnasi. Ketika gaji minimum tak cukup untuk hidup dengan layak, maka yang bermasalah bukan gaya hidup pekerja, tapi sistem yang menciptakan jurang ketimpangan.

Sudah saatnya diskusi tentang UMR tak hanya soal angka, tapi soal keberpihakan. Tentang apakah kita ingin membangun masyarakat yang adil, atau terus membiarkan banyak orang hidup sekadar cukup untuk hari ini, dan selalu kurang untuk hari esok.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline