Lihat ke Halaman Asli

Sandy Gunarso

Praktisi Komunikasi

Doa Orangtua Selalu Menyertai Kehidupan Anaknya

Diperbarui: 17 April 2022   18:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Orang pada umumnya melupakan Tuhan saat kondisi hidupnya sedang senang dan bahagia. Jarang kata syukur terlontar dari mulutnya saat kehidupan sedang dalam kondisi suka. Sebagian dari mereka cenderung menghabiskan kesempatan bahagia tanpa sekalipun mengingat Tuhan.

Orang mengingat Tuhan saat mereka sedang berduka. Saat kesedihan dan keputusasaan menyergap, saat kemalangan menghampiri, bahkan saat suatu peristiwa mengambil kesukaannya, barulah orang tersentak dan tersadar bahwa mereka sedang jauh dari Tuhan. Lalu, mereka baru berlari menghampiri Tuhan untuk merintih, menangis, dan berkeluh kesah.

Benarkah hidup seperti itu?

Kisah ini terjadi pada kehidupan seseorang. Sebutlah dia dengan nama Arlo. Sedari muda, Arlo dikenal sebagai orang yang rajin berdoa. Kata syukur seolah sudah menempel di bibirnya. Setiap pagi hari, Arlo selalu ingat untuk mengucapkan syukur atas kehidupan baru yang diberikan Tuhan. Kondisi hari sedang hujan maupun saat kemarau, Arlo selalu mensyukurinya.

Usai menikah dan dikaruniai seorang anak laki-laki, Arlo menjaga dan merawat sang buah hati dengan penuh kasih sayang. Hingga anak laki-lakinya menginjak usia 5 tahun, Arlo berencana untuk menambah anak. Dikatakannya rencana menambah momongan kepada sang istri. Ternyata, keinginannya juga menjadi keinginan sang istri.

Pasangan suami-istri ini pun lantas mulai melakukan sejumlah persiapan. Mulai dari menjaga pola makan, berolah raga, sampai melakukan pemeriksaan medis. Hari demi hari berlalu. Tugas dan pekerjaan serta dinamikanya sungguh menyita banyak waktu dari Arlo dan istrinya. Hingga setahun pun berlalu. Keinginan mereka menambah anak, kembali teringat saat mereka merayakan ulang tahun sang putra yang keenam.

Begitu mereka tersadar, keduanya kembali melakukan serangkaian persiapan serupa seperti tahun sebelumnya. Menjaga pola makan, berolah raga, sampai pemeriksaan medis. Namun, hasilnya tetap saja nihil. Keinginan mereka seolah jauh dari rencana Tuhan. Tanpa mengurangi rasa baktinya pada Tuhan, mereka tetap rajin berdoa. Permohonan dan permohonan selalu disampaikannya lewat doa setiap malam.

Lagi-lagi, pekerjaan dan kesibukan keduanya menjadi tembok besar penghalang untuk berada di dekat Tuhan. Selain berhenti berdoa untuk memohon kehadiran anak kedua, Arlo dan istri sudah mengajari sang putra untuk menerima kenyataan bahwa dia akan menjadi anak tunggal tanpa seorang adik. Keyakinan itu sudah mulai diberikan pada sang anak laki-laki agar dia tidak kecewa dengan kondiri hidupnya sebagai anak tunggal.

Arlo dan istri perlu menyampaikannya karena sang putra masih menyimpan keinginan untuk memiliki seorang adik. Beberapa kesempatan, sang putra selalu menanyakan soal adik. Bahkan saat ditanya oleh nenek serta bibinya, sang anak selalu berkata bahwa dia sangat ingin adik.

Tahun demi tahun berlalu. Arlo dan istri sudah melepaskan keinginan mereka untuk menggendong anak kedua. Tanpa disadari, Arlo sudah berada jauh dari Tuhan. Dia seolah melupakan Tuhan dan meninggalkan segala harapannya untuk percaya pada muzijat Tuhan. Arlo menenggelamkan diri dalam rutinitas bersama pekerjaannya.

Tahun kedelapan usia anak laki-lakinya. Arlo mendapatkan mimpi selama dua hari berturut-turut. Dalam mimpinya itu, Arlo melihat dirinya sedang menggendong dua bayi perempuan kembar. Lalu, perlahan-lahan, keduanya berubah menjadi anak usia 7 tahun. Mereka memanggil Arlo,"Papa."

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline