Lihat ke Halaman Asli

sampe purba

Insan NKRI

Etika Bermantan

Diperbarui: 31 Januari 2019   07:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Etika Ber-Mantan

Oleh : Sampe L. Purba

(Bagian 1)

"Pada waktunya kita semua akan menjadi Mantan", demikian Dek Jum memulai obrolan kami di pojok Cafe tua bernuansa kolonial di bilangan sudut Jalan Sabang sore itu sambil menunggu gerimis reda. Jakarta semakin macet dan mumet. Hujan sebentar merubah jalan protokol maupun trotoar yang teranugerahi banjir, menjadi medan semrawut yang diperebutkan sepeda motor, ojek, hingga mobil berplat ganjil genap.

Pikiran saya jauh lebih mumet, menghadapi kalimat pembuka dek Jum. Kalimatnya tidak biasa. Dingin. Mirip kombinasi pembukaan Sicilia dengan serangan gambit yang mengancam benteng pada tiga langkah pertama.

Seakan dapat membaca pikiranku, Dek Jum melanjutkan.

Seorang Pejabat akan menjadi mantan pejabat, model cantik menjadi mantan model, pacar menjadi mantan, entah menjadi pasangan hidupmu atau menjadi pasangan orang lain. Caramu menghargai mantanmu, menunjukkan kualitasmu ketika aktif berinteraksi dengannya. Apakah tulus, genuine, memberi nilai tambah, atau sekedar menggerayangi dan menompang hidup ala oportunis aji mumpung.

Saya mengenal dua mantan MenKo, di dua masa kepresidenan yang berbeda.  Sebelum mereka di Pemerintahan, pendapat dan tulisannya jernih. Komprehensif menjajikan fakta, argumen, dan data. Narasinya substantif dengan pisau analisis yang tajam, disertai usulan alternatif solusi. People love them.

Ketika Pemerintahan populis terbentuk, diajak oleh Presiden terpilih ke Kabinet. Menjadi bagian dari dream team.
Tetapi sayang setelah di dalam, peri lakunya malah seperti oposan. Pengamat.

Dalam kasus BLBI misalnya. Ketika si Mantan diundang klarifikasi, malah menyalahkan Bossnya. Kemudian sering menjadi pembicara di media populer dengan analisa yang - maaf - sedikit ngawur. Misalnya, menghitung cost bahan bakar minyak hanya berdasarkan biaya memproduksi. Itu mirip menghitung biaya beras, hanya sekedar ongkos yang keluar untuk memanen, menggiling hingga memasarkan. Apa biaya mencari, menanam (istilah teknisnya exploration cost) dan menjaga kualitas sawah dan tanaman tidak perlu dihitung.

Mantan yang satu lagi tidak kalah ngawur dan awut awutan. Sebagai Menko malah sering berpolemik di media, termasuk dengan Menteri Teknis yang di bawah koordinasinya. Kerjanya kepret sana sini, hingga menantang atasannya debat di publik. Kabinet menjadi bising.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline