Lihat ke Halaman Asli

Sam Edy Yuswanto

Hobi membaca dan menulis

Tenang Saja, Rezeki Manusia Sudah Ada yang Ngatur

Diperbarui: 2 Oktober 2022   18:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokpri

Saya yakin setiap orang telah memahami bahwa yang namanya rezeki itu sudah ada yang mengatur. Siapa yang mengatur? Tak lain dan tak bukan adalah Allah Azza wa jalla. Namun, hal yang perlu digarisbawahi di sini, meski setiap makhluk-Nya sudah diatur rezekinya masing-masing, akan tetapi kita, sebagai makhluk yang dikaruniai keistimewaan berupa akal oleh-Nya, harus berjuang menjemput rezeki-Nya.

Lantas, bagaimana cara kita menjemput rezeki yang telah digariskan oleh Allah swt.? Tentu dengan cara bekerja, mencari penghidupan yang halal, semisal berdagang atau berbisnis, dengan catatan ketika sedang bekerja tersebut, jangan sampai kita melalaikan perintah-Nya. Jangan sampai saking sibuknya mencari nafkah, kita lupa untuk menjalankan shalat, misalnya.

Dalam buku Jika Tuhan Mengatur Rezeki Manusia, Mengapa Kita Harus Bekerja? yang merupakan terjemahan Kitab al-Makasib karangan Imam Al-Muhasabi (Mahaguru Para Sufi, 781---857 M) dijelaskan, Allah swt. membagi rezeki di antara manusia dan meletakkannya di banyak tempat sesuai catatan Lauhul Mahfuzh. Kemudian Dia memerintahkan mereka agar bertawakal kepada-Nya.

Mengapa manusia harus bertawakal? Mungkin pertanyaan ini terbetik di benak sebagian orang.

Jadi, Allah swt. memerintahkan manusia bersikap tawakal agar mereka tidak melalaikan ibadah karena sibuk dengan kebutuhan-kebutuhan duniawi. Dia telah menjamin akan mencukupi kebutuhan mereka. Sebab itu, Dia menetapkan argumentasi serta mewajibkan beberapa hukum dan ibadah atas mereka. Dia menjelaskan berbagai aspek dalam ibadah seperti jumlah, waktu dan hukumnya, mulai dari shalat, puasa, zakat, haji hingga jihad. Dia juga menerangkan batasan hal-hal yang Dia halalkan dan haramkan (halaman 22).

Bicara tentang arti tawakal, Alhafiz Kurniawan dalam tulisannya (NU Online, 7/6/2021) menjelaskan bahwa tawakal di satu sisi adalah sikap batin yang tenang karena menyerahkan urusan kepada Allah. Sedangkan sebab/upaya/ikhtiar/syariat adalah aktivitas lahiriah fisik untuk menuju keinginan yang diidealkan di sisi lain.   

Seorang hamba harus bertawakal dengan cara mempercayai dan membenarkan bahwa Allah swt. telah membagi rezeki, mencukupi kebutuhan, membukakan jalan untuk mencarinya, dan menakdirkan makanan yang telah dijatah untuknya pada waktu yang telah ditentukan (halaman 23).

Dapat disimpulkan bahwa setiap orang harus menjemput rezeki-Nya yang tersebar di berbagai penjuru bumi ini. Apa pun profesi kita, asalkan itu tidak bertentangan dengan aturan atau ketetapan-Nya, boleh-boleh saja kita lakukan. Menjadi petani, penulis, pebisnis, atau apa pun itu (asalkan halal) silakan saja, yang terpenting pekerjaan atau profesi tersebut tidak membuat kita lalai terhadap perintah dan larangan-Nya.

Jadi, Allah swt. mengizinkan kita untuk mencari rezeki selama tidak menerjang batas-batas larangan-Nya. Rasulullah saw. (dalam hadis riwayat Bukhari dan Muslim) pernah bersabda: "Sebaik-baiknya rezeki yang dimakan oleh seorang mukmin adalah yang berasal dari jerih payahnya sendiri" (halaman 31).

Sangat menarik membaca buku karya ulama sekaligus mahaguru para sufi ini. Semoga terbitnya buku ini dapat menjadi bacaan yang mencerahkan bagi umat Islam di berbagai belahan dunia.

Judul Buku: Jika Tuhan Mengatur Rezeki Manusia, Mengapa Kita Harus Bekerja?

Penulis: Imam Al-Muhasibi.

Penerbit: Turos.

Cetakan: I, Juli 2022.

Tebal: 208 halaman.

ISBN: 978-623-7327-70-7




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline