Dalam bacaan tersebut kita akan melihat Hak Asasi Manusia dalam perspektif komparatif yang berkaitan dengan kebijakan luar negeri suatu negara. Dijelaskan pula bahwa ada 3 cara bagi negara untuk mempengaruhi kebijakan mereka terhadap hak asasi manusia. Cara yang dimaksud adalah melalui diplomasi, ekonomi dan Militer. Perlu diingat bahwa setiap negara akan menggunakan cara yang berbeda-beda sesuai dengan kapasitas mereka.
Diplomasi
Ada sejumlah cara yang dapat dilakukan oleh suatu negara untuk menggunakan diplomasi yang kemudian digunakan untuk mempengaruhi kebijakan negara yang sekiranya melanggar hak asasi manusia. Metode klasik dan tradisional adalah diplomasi rahasia atau diam-diam, yaitu dengan mengadakan diskusi rahasia di balik pintu tertutup dan jauh dari pandangan publik. Para utusan negara nantinya akan bertemu dengan para pejabat untuk mendiskusikan isu HAM tertentu serta pencegahan tindakan tertentu. Hal ini terkadang merupakan cara yang sangat berguna untuk menyampaikan keberatan dan masalah yang menjadi perhatian pihak yang bersalah tanpa risiko kontroversi yang meluas atau menyebabkan kemarahan publik. Meskipun cara-cara diplomatik tersebut mungkin dianggap efektif maupun tidak, cara ini dapat dihubungkan dengan langkah-langkah lain.
Ekonomi
Pemerintah sering kali enggan untuk memberlakukan sanksi ekonomi terhadap negara lain -- baik untuk hak asasi manusia atau alasan lain -- karena dapat merugikan diri sendiri. Salah satu alasan Swiss tidak bergabung dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa hingga tahun 2004 adalah karena sanksi ekonomi yang dijatuhkannya kepada Italia di bawah pimpinan Mussolini sebagaimana yang disetujui oleh Liga Bangsa-Bangsa merusak ekonomi Swiss serta terbukti sangat tidak populer di Swiss yang berbahasa Italia. Akhirnya PBB memberikan suara untuk mengizinkan Irak menjual sejumlah minyak, menggunakan hasil penjualan tersebut untuk membeli barang-barang yang diperlukan bagi penduduk sipil. Namun, Dewan tersebut gagal mengawasi program tersebut secara efektif. Uang disalurkan ke rezim Hussein, dan masalah-masalah lain pun muncul. Sanksi cerdas ini, yang menutup rekening bank elit dan kebebasan untuk bepergian, turut menyebabkan kepergian Cedras dan rombongannya -- disertai janji perjalanan yang aman dan kehidupan yang nyaman di pengasingan. Sanksi cerdas telah diperdebatkan atau diadopsi terkait situasi lain, misalnya terkait pemerintah Sudan karena kebijakannya yang berkaitan dengan wilayah Darfur pada tahun 2005. Sehingga tinjauan umum mengenai sanksi ekonomi dan hak asasi manusia menyimpulkan bahwa: (1) sanksi multilateral daripada unilateral lebih disukai; (2) hukuman negatif harus dikombinasikan dengan bujukan positif; (3) bahkan sanksi cerdas biasanya gagal menghasilkan kepatuhan penuh terhadap tuntutan; (4) sanksi ekonomi yang berlangsung lebih dari dua tahun jarang efektif; (5) tindakan ekonomi mungkin harus dikombinasikan dengan ancaman militer; dan (6) tujuan dan cara harus jelas.
Militer
Cara ini merupakan cara yang sangat dramatis karena dilakukannya militer koersif. Tentu saja ada masalah yang sudah berlangsung lama bahwa negara-negara mungkin mengklaim terlibat dalam "intervensi kemanusiaan" padahal sebenarnya mereka memiliki motif utama lainnya. Perang yang dilakukan AS di Irak sejak tahun 2003, meskipun mungkin telah menghasilkan beberapa konsekuensi positif jangka panjang bagi hak asasi manusia di sana, bersama dengan banyak masalah hak asasi manusia, hal ini tidak boleh didefinisikan sebagai intervensi kemanusiaan. Telah terjadi banyak kasus dengan motif campur aduk terkait penggunaan kekuatan di negara lain tanpa persetujuan PBB.
Selain ketiga cara tersebut. Bacaan ini juga membahas mengenai kebijakan luar negeri milik Amerika yang berkaitan dengan HAM. Ketika membahas Amerika Serikat, untuk memahami tempat hak asasi manusia dalam kebijakan luar negeri, pertama-tama penting untuk memahami bahwa banyak kalangan elit dan masyarakat umum memandang Amerika Serikat sebagai mercusuar kebebasan bagi dunia. Gagasan tentang keistimewaan Amerika sudah dikenal luas, tetapi penerapannya yang tepat dalam kebijakan publik terbuka untuk berbagai konstruksi. Hak asasi manusia dalam kebijakan luar negeri sering kali merupakan masalah Washington yang mendesak pihak lain untuk meningkatkan kebebasan pribadi dan politik. Kekuatan berkelanjutan dari American exceptionalism tidak serta merta dapat disamakan dengan perjuangan otomatis untuk hak asasi manusia dalam kebijakan luar negeri Amerika. Singkatnya, dalam kebijakan luar negeri AS tentang hak asasi manusia, kita dapat menemukan banyak retorika tentang American exceptionalism mengenai peran khusus AS dalam memperjuangkan hak asasi manusia dan demokrasi.
Di Amerika, tindak lanjut mengenai HAM sendiri memiliki limitasi. Bahkan presiden pun tidak memiliki wewenang yang bebas mengenai isu ini. Kongres Amerika pada masa awal Pemerintahan Eisenhower telah memaksa Amerika Serikat untuk meninggalkan sikapnya dalam hal hak asasi manusia yang diakui secara internasional, sebuah kongres yang konservatif dan terjebak dalam histeria McCarthyisme serta melihat hak asasi manusia universal sebagai pengaruh asing yang subversif. Kemudian di akhir kongres Nixon memperkenalkan kembali hak asasi manusia ke dalam agenda kebijakan luar negeri Amerika, Kongres Demokrat ingin menggambarkan periode Nixon dan Kissinger sebagai periode yang kurang memiliki nilai-nilai etika. Amerika Serikat, tidak seperti semua negara demokrasi maju lainnya, justru menolak untuk menerima hak-hak budaya, ekonomi, dan sosial sebagai hak asasi manusia yang mendasar. Ketika Amerika Serikat berbicara tentang dukungannya terhadap Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, mereka hanya mengabaikan referensi terhadap pasal-pasal yang mendukung hak-hak dasar atas standar makanan, pakaian, tempat tinggal, perawatan kesehatan, dan jaminan sosial yang memadai.
Semakin banyak negara, apa pun karakter politiknya, mereka harus berurusan dengan hak asasi manusia yang diakui secara internasional. Namun, dalam menangani hak asasi manusia, terkadang negara membawa sejarah nasional, karakter, citra diri, dan nasionalisme mereka. Hal tersebut biasanya menyebabkan negara menjadi lebih atau kurang aktif dalam isu-isu hak asasi manusia, lebih atau kurang percaya diri dan tegas, lebih atau kurang defensif.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI