Lihat ke Halaman Asli

S A Hadi

Sholikhul A Hadi

Tanpa Maaf

Diperbarui: 6 Agustus 2019   12:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Panas Matahari yang tersimpan dalam Stratum Korneum, menyisakan rasa hangat di tubuhnya. Keringatnya membasahi Kaus singlet yang dipakai di bawah kemeja putih yang tidak sempurna menahan dampaknya. Pada beberapa bagian kemajanya, tampak lingkaran-lingkaran akibat keringat yang membasahinya.

Bahri telah duduk di ruangan kerjanya ketika dia memperhatikan penampilannya melalui cermin yang menampilkan Sosoknya. Penampil khas seorang pebisnis yang hidup di jaman milenial. Berambut rapi dengan kemeja dan celana jean warna hitam serta sepatu kulit. Hanya rompi rajut yang kali ini absen dari penampilannya karena sejak awal dia tidak berniat masuk ke Kantor.

Hari itu adalah hari yang ditentukan untuk menyatakan keinginannya mempersunting teman perempuan yang telah sepuluh tahun bersamanya. Janji telah dibuat, di sebuah kafe yang berjarak dua blok dari kantornya pada pukul 06.00 pagi. Sebuah cincin yang dibelinya dari toko perhiasan Cangli milik temannya telah siap pula dalam sebuah kotak berwarna merah.

Teman perempuannya telah menungu di meja nomer 23 yang terletak di dekat taman saat Bahri keluar dari mobil. Tempat yang biasa keduanya tempati saat menghabiskan malam sepulang kerja. Hampir semua kebersamaannya dihabiskan di meja itu. Sebuah meja yang tiap kali orang akan menempatinya, selalu dikonfirmasi terlebih dahulu ke Bahri oleh pelayan kafe. "Mas, ini mejanya mau ditempati orang. Punya rencana kesini atau tidak kamu?"

Bahri masih mengingat dengan baik semua yang baru saja dialaminya, termasuk bagaimana Rara, teman perempuannya, menyambutnya dengan senyum dan lesung pipi yang mampu meluluhkan kecanggungannya. " Akhirnya kamu datang juga." Sambut Rara bersama dengan dua cangkir Latte yang telah siap di meja dengan gambar hati dipermukaannya.

" Aku tidak menyangka kamu datang secepat ini setelah apa yang terjadi bulan lalu."

Bahri mengenang kejadian bulan lalu, saat timnya keluar bersama untuk mengadakan pesta makan sebelum datangnya puasa. Dia bersama dengan kesepuluh karyawannya makan di sebuah restoran dekat dengan pasar besar. Sebuah restoran seafood kesukaannya.

Saat dia dan kesepuluh karyawannya bercengkrama dengan keakraban yang dibangunnya di kantor, tiba-tiba Rara muncul bersama dengan teman-temannya. Rara menyaksikan bagaimana Santi sekertaris Bahri membersihkan tetesan saus yang mengenai bajunya. Rara seketika marah dan mendatanginya, "Apa yang kamu lakukan?" Bentaknya.

Santi ketakutan hingga bibirnya bergetar. Dia tahu dengan pasti keadaan itu, Santi merasa terhina atas ucapan Rara yang terkesan menuduhnya merebut Bahri. Santi kehilangan kata. Mengetahui hal itu, Bahri mengambil inisiatif. "Dia hanya menjalankan tugasnya Ra."

" Owh, bermesraan itu termasuk tugasnya? Kalian di tempat umum saja seperti ini, apalagi kalau di kantor. Janga-jangan Tugasnya di kantor lebih dari ini." Rara pergi meninggalkan Bahri.

Sejak saat itu semua chat, sms, dan telpon bahri tidak di jawab oleh Rara. Bahkan beberapa kali Bahri mencoba mendatangi apartemen Rara dan tidak dibukakan pintu. Hampir tiap malam Bahri menunggu Rara di meja nomor 23 itu dengan harapan sesekali kekasihnya itu akan mampir ke sana untuk sejenak mengenang kebiasaan keduanya selama beberapa tahun terakhir.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline