Lihat ke Halaman Asli

Wahyuni Susilowati

TERVERIFIKASI

Penulis, Jurnalis Independen

Putra Mahkota dan Reformasi Perempuan di Arab Saudi

Diperbarui: 13 November 2019   20:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Visi 2030 Mohammed bin Salman dirancang salah satunya untuk membangun kesetaraan gender di berbagai bidang (doc.The Society Pages/ed.Wahyuni)

Warga Arab Saudi, menurut Nader Habibi dan Lydia Begagg sebagaimana dilansir dalam International Policy Digest awal bulan lalu, kini tengah berusaha untuk mengimbangi langkah cepat reformasi sosial dan budaya yang sedang diperkenalkan oleh Putra Mahkota Mohammed bin Salman (MbS).

Reformasi terbaru yang diumumkan pada tanggal 27 September 2019 berupa kelonggaran aturan berpakaian wajib konservatif di wilayah kerajaan bagi para turis perempuan non-Saudi. 

Meski hanya berlalu bagi pendatang, namun setidaknya para perempuan Saudi dapat mempelajari implikasi sosial baru dari penerapannya. Apalagi mengingat begitu cepatnya perguliran reformasi sosial yang telah dimulai MbS sejak 2016 sehingga ada kemungkinan bahwa aturan tersebut nantinya akan berlaku juga untuk perempuan Saudi.

Pada 2015 saat Raja Salman memulai pemerintahannya, hak-hak hukum dan sosial perempuan di Arab Saudi dinilai tertinggal di kawasan Timur Tengah. Meski demikian perempuan Saudi telah mencapai tingkat pendidikan dan kesadaran sosial yang tinggi (dengan tingkat melek huruf lebih dari 90% untuk wanita muda) dan melebihi pria dalam antusiasme belajar di tingkat universitas.

Di sisi lain, mereka diperlakukan sebagai anak di bawah umur yang sah dan semua aspek kehidupan mereka masih dikendalikan oleh wali laki-laki mereka. Akibatnya rezim pemerintahan Saudi dicecar kritik yang sangat kuat dari kalangan internasional terkait diskriminasi gender dan penindasan terhadap perempuan.

Reformasi sosial dan budaya yang bertujuan mengurangi diskriminasi gender adalah bagian dari strategi pembangunan jangka panjang MbS yang dikenal sebagai Visi 2030. Di bawah program yang dicanangkan tahun 2016 ini, perempuan diberikan hak untuk mengemudi pada Juni 2018.

Bagi banyak orang, hal tersebut dipandang sebagai pencapaian besar. Mayoritas perempuan Saudi menganggap reformasi ini tidak hanya mengakhiri diskriminasi sosial yang tidak adil, namun juga memperbesar kesempatan mereka untuk aktif dalam kegiatan bisnis dan mengisi bursa kerja. Sebelumnya sebagian mereka harus melupakan gagasan bekerja/berbisnis karena terkendala sangat mahalnya biaya perjalanan dengan taksi atau sopir pribadi.

Bagi banyak perempuan Saudi, hak mengemudi adalah perubahan yang paling monumental karena hal itu mempengaruhi kehidupan keseharian mereka, terutama kemungkinan bahwa kaum laki-laki akan lebih menghormati dan memandang mereka dalam kedudukan yang setara.

Dari sudut pandang ekonomi, reformasi telah membuat industri Saudi lebih modern dan menciptakan lebih banyak lapangan kerja bagi warga negara Saudi. Pemerintah Saudi juga telah mengambil beberapa langkah untuk meningkatkan lingkungan kerja bagi perempuan dan menciptakan lebih banyak kesempatan kerja bagi mereka.

Pada Januari 2019, kerajaan mengumumkan aturan Women in the Workplace yang menetapkan perempuan pekerja akan mendapat bayaran yang sama dengan pekerja pria untuk jenis pekerjaan yang sama. 

Selama ini perempuan  mengisi 20 persen dari angkatan kerja domestik Saudi tetapi hanya mendapat imbalan 54 persen dari apa yang didapatkan pria untuk pekerjaan setara, jadi aturan ini akan memicu peningkatan besar pada pendapatan mereka.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline