Lihat ke Halaman Asli

Rizka Khaerunnisa

TERVERIFIKASI

Jurnalis

"Kucumbu Tubuh Indahku": Dialog Maskulinitas dan Feminitas dalam Satu Tubuh

Diperbarui: 22 April 2019   08:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Muhammad Khan sebagai Juno dewasa dalam film "Kucumbu Tubuh Indahku". (Foto: imdb.com/FourcoloursGo-Studio)

"Hidupku ini seperti senja. Ada di antara sore dan malam."

Begitu kira-kira yang dikatakan Rianto di tengah adegan monolognya. Saya lupa bagaimana kalimat persisnya--kalau diperbolehkan untuk di-pause sejenak atau di-replay lagi, pasti akan saya lakukan, hehe. Sayangnya saya hanya bisa menonton sekali itu dan tak semua adegan saya hafal secara runut. Tak apa, setidaknya saya masih sempat menyelamatkan remah demi remah ingatan inti dari keseluruhan adegan.

Dituturkan dengan bahasa Jawa Banyumas-an, monolog dan dialog dalam film Kucumbu Tubuh Indahku (Memories of My Body, 2018) menjadi salah satu daya tarik pada film sekaligus ciri pembeda kelas sosial. Bahasa Jawa yang ngapak ini identik dengan bahasanya para rakyat, bukan bahasanya penguasa di keraton. Meski dijuluki ngapak, bukan berarti ia tak bernilai. 

Dalam film ini justru ada banyak kata-kata sarat makna yang bertebaran di sepanjang jalannya adegan. Dan kalimat alegori perihal senja itu hanyalah sebagian kecil dari semesta makna yang tergelarkan dalam Kucumbu Tubuh Indahku.

Saya menginterpretasikan alegori senja itu sebagai roh dan nafas yang mengisi nyawa film, meskipun kata "senja" di sana hadir hanya sebagai tuturan dan bukan wujud visual "senja". Alegori kehidupan senja hadir di antara sore dan malam; seolah tak ada sekat yang tegas, ada di ambang keraguan, tetapi penuh daya magis. Inilah yang coba dimaknai Juno--tokoh utama--di sepanjang realita hidupnya; ketubuhan Juno berdiri pada ambang dua sisi itu, maskulin dan feminin.

Seperti judulnya, film ini bertutur perihal "tubuh" (awak dalam bahasa Jawa). Secara berulang-ulang, kata "tubuh" diucapkan para tokohnya. Saya tak sempat menghitung berapa kali kata itu diulang (ya kali, saya lebih sibuk menghitung kata ketimbang menyimak alurnya, kalimat ini biar tampak retorik saja, sih, hehe). 

Yang jelas, timbul kesan bahwa ada penekanan yang serius pada kata itu, baik dalam monolog maupun dialog para tokoh--terutama pada bagian monolog di mana Rianto, sang narator yang berperan sebagai Juno dewasa, mengisahkan kembali pengalaman ketubuhan hidupnya dengan daya pikat yang luar biasa.

Kisah dalam Kucumbu Tubuh Indahku ini diilhami dari pengalaman hidup Rianto, penari dan koreografer ternama asal Banyumas. Rianto tampil dalam setiap selingan babak, suatu cara transisi yang sederhana dari satu plot ke plot yang lain. Yang menjadi tak biasa adalah penghayatan peran yang ditampilkan Rianto. 

Monolognya itu adalah bentuk kejujuran intimasinya kepada penonton; ia tak hanya berbicara dengan bibir dan kata-kata, tapi juga dengan tubuh dan gerak tari, serta mata dan pancarannya yang tajam. Seluruh daya hidupnya itu dibangkitkan dalam kepaduan yang indah, baik tuturan, gerakan, maupun penglihatannya bergerak menjelma harmoni yang pas, tak kurang dan tak berlebih.

Penari Rianto sebagai narator Juno dewasa dalam film "Kucumbu Tubuh Indahku" (Foto: imdb.com/FourcoloursGo-Studio)

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline