Rudi Santoso (Dosen Prodi HTN UIN Raden Intan Lampung)
Sejarah Nusantara adalah sejarah panjang tentang pertemuan berbagai bangsa yang datang dari berbagai penjuru dunia, baik untuk berdagang maupun menjalin relasi budaya. Namun, tidak semua kedatangan bangsa asing itu membawa kedamaian. Salah satu babak kelam dalam sejarah Nusantara dimulai saat Vereenigde Oostindische Compagnie atau lebih dikenal sebagai VOC, datang ke tanah air ini dengan tujuan utama menguasai perdagangan rempah-rempah. Meski VOC sering disebut sebagai perusahaan dagang, namun praktiknya lebih menyerupai kekuatan kolonial yang membawa penderitaan dan penindasan bagi banyak kerajaan dan masyarakat Nusantara.
Awal mula kehadiran VOC di Nusantara tidak terlepas dari kepentingan ekonomi Eropa yang saat itu sedang berlomba-lomba mencari jalur perdagangan rempah-rempah. Bangsa Eropa, terutama Portugis dan Spanyol, lebih dahulu menginjakkan kaki di kepulauan Maluku dan wilayah-wilayah lain Nusantara pada abad ke-16. Kehadiran mereka membuka mata bangsa Eropa lainnya tentang betapa strategisnya Nusantara sebagai pusat perdagangan global. Namun, monopoli yang dilakukan Portugis dan Spanyol menimbulkan ketegangan dan membuka peluang bagi bangsa Belanda untuk turut serta dalam persaingan.
VOC didirikan pada tahun 1602 oleh pemerintah Belanda, bukan sekadar sebagai perusahaan dagang biasa, tetapi sebagai badan usaha yang diberi kewenangan luar biasa. VOC memiliki hak istimewa yang disebut "Octrooi," yaitu hak monopoli untuk berdagang, membuat perjanjian dengan penguasa lokal, mendirikan benteng, bahkan mengobarkan perang. Inilah yang membedakan VOC dari perusahaan dagang biasa. Sejak awal, VOC bukan sekadar pedagang, melainkan juga aktor politik dan militer yang siap menggunakan kekerasan demi mengamankan kepentingan dagangnya.
Kedatangan VOC di Nusantara awalnya diterima dengan terbuka oleh beberapa kerajaan yang merasa terancam oleh Portugis atau ingin memperkuat posisi mereka dalam persaingan lokal. Namun, perlahan tapi pasti, VOC memperlihatkan wajah aslinya. Setelah berhasil menguasai jalur perdagangan penting di Maluku, mereka mulai menerapkan kebijakan monopoli rempah-rempah yang merugikan masyarakat lokal. Petani hanya boleh menjual hasil bumi kepada VOC dengan harga yang ditentukan sepihak oleh Belanda, dan setiap pelanggaran terhadap monopoli ini diancam dengan kekerasan.
Salah satu contoh paling nyata dari kekejaman VOC terjadi di Banda Neira pada tahun 1621. Ketika penduduk Banda menolak tunduk pada monopoli VOC, Jan Pieterszoon Coen, salah satu pemimpin VOC yang terkenal kejam, memimpin ekspedisi militer untuk menghukum rakyat Banda. Ribuan penduduk dibantai, sementara sisanya diperbudak atau dipaksa melarikan diri. Wilayah Banda kemudian diisi oleh pekerja dari luar yang bekerja di bawah kendali ketat VOC. Peristiwa ini menjadi simbol awal mula penjajahan VOC yang tidak hanya berorientasi pada keuntungan dagang, tetapi juga penaklukan wilayah dan perbudakan manusia.
Selain di Banda, VOC secara bertahap memperluas kekuasaannya ke Batavia (kini Jakarta) yang dijadikan pusat kekuasaan mereka di Nusantara. Dari Batavia, VOC mengendalikan jaringan perdagangan yang luas, mulai dari Sumatera hingga Maluku, dari Kalimantan hingga Timor. Strategi mereka sederhana tapi efektif: memecah belah kerajaan-kerajaan lokal melalui politik adu domba, membuat perjanjian sepihak yang menguntungkan VOC, serta membangun benteng-benteng pertahanan yang sulit ditembus. Lama kelamaan, para penguasa lokal tidak lagi berdaulat atas wilayahnya sendiri karena setiap kebijakan penting harus mendapat restu dari VOC.
Kebijakan VOC juga membawa perubahan besar dalam struktur sosial dan ekonomi Nusantara. Perdagangan yang sebelumnya berlangsung bebas di antara kerajaan-kerajaan lokal, kini dikendalikan secara ketat oleh VOC. Jalur perdagangan internasional yang dahulu menghubungkan Nusantara dengan India, Timur Tengah, dan Tiongkok pun terganggu oleh kebijakan monopoli yang diberlakukan Belanda. Hal ini menyebabkan kemunduran ekonomi di berbagai wilayah Nusantara, yang kemudian melemahkan kekuatan kerajaan-kerajaan lokal dan memperkuat dominasi VOC.
Namun, penindasan VOC tidak berlangsung tanpa perlawanan. Sejumlah tokoh dan kerajaan Nusantara berusaha melawan dominasi Belanda. Perlawanan seperti yang dilakukan Sultan Agung dari Mataram, Sultan Hasanuddin dari Makassar, dan rakyat Maluku yang dipimpin oleh Kapitan Pattimura pada masa selanjutnya, menjadi bukti bahwa semangat perlawanan terhadap ketidakadilan sudah tumbuh sejak awal penjajahan. Namun, sayangnya, perlawanan-perlawanan tersebut sering kali terhambat oleh persaingan antar kerajaan lokal, lemahnya persatuan, serta keterbatasan sumber daya dan teknologi militer.
Selain faktor kekerasan, VOC juga memperkenalkan sistem birokrasi dan administrasi yang kemudian menjadi cikal bakal pemerintahan kolonial Belanda. VOC mengatur pajak, perizinan, dan aturan dagang yang memberatkan rakyat. Wilayah-wilayah yang sebelumnya berdiri merdeka menjadi daerah-daerah yang tunduk pada peraturan-peraturan kolonial. Meski demikian, di balik kepentingan dagang dan politik itu, terjadi pula pertukaran budaya, bahasa, dan pengetahuan yang memperkaya peradaban Nusantara, meskipun dalam konteks relasi kekuasaan yang timpang.