Lihat ke Halaman Asli

Rozi Ahdar

Mahasiswa yang kadang bercanda

Peluang Eko-Novelis di Indonesia

Diperbarui: 16 April 2022   15:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sepanjang mengikuti kuliah Religion & Ecology pada pertengahan menuju akhir 2021, Rachel Carson adalah nama yang paling saya ingat dari semua buku dan jurnal yang diberikan. Dia merupakan penulis buku feomenal Silent Spring (1962), bukunya menjadi bacaan utama hingga saat ini bagi mereka yang ingin mendalami masalah ekologi. Buku itu menancap di ingatan saya karena Carson menulis hal-hal ilmiah seperti bercerita.

Sebagai masyarakat biasa yang hidup di akar-rumput karena mengikuti kuliah daring, saya menyaksikan bahwa jurnal atau hasil seminar internasional agaknya cukup susah menyentuh masyarakat kalangan bawah. Ribuan jurnal ekologi eksis di jagat akademis mengingatkan kerusakan alam akibat ulah tangan manusia, namun yang menyentuh masyarakat bawah ternyata adalah cerita-cerita sinetron dan novel-novel Tere Liye.

Salah satu yang sempat mendobrak kesadaran masyarakat bawah tentang masalah lingkungan adalah film “Sexy Killer” yang viral saat pemilihan presiden. Itu pun karena alur ceritanya diawali adegan ranjang dan kemesraan pasangan di sebuah rumah. Dari film tersebut, masyarakat jadi sadar bahwa penambangan menyisakan lubang-lubang besar di tengah hutan yang banyak dihiraukan pihak perusahaan. Ini menunjukkan betapa kuatnya peran cerita dalam menyentuh masyarakat Indonesia yang mayoritas masih menengah ke bawah.

Novel merupakan salah satu media bercerita, sentuhannya menjalar ke semua kalangan mulai dari akademisi sampai non-akademisi. Sayangnya, pemerintah maupun lembaga besar pemerhati lingkungan hanya memberikan pendanaan untuk menulis jurnal, buku atau laporan ilmiah, jarang sekali memberikan pendanaan khusus untuk menulis novel dengan tema tertentu, lingkungan misalkan. Padahal, kalau boleh jujur, jurnal (yang kerap didanai besar-besaran) dibaca kebanyakan hanya untuk memenuhi tugas kuliah tertentu, palingmentok mengubah pemikiran sebentar saja, nanti bakal terlupakan oleh jurnal-jurnal lain yang bejibun. Tapi lihatlah bagaimana novel “Laskar Pelangi” mengubah seumur hidup sikap anak-anak desa yang awalnya minder karena sekolah mereka tertinggal akhirnya berani berkompetisi dengan sekolah kota.

Tengoklah bagaimana “Edensor” membuat mereka yang selesai membacanya seketika menyusun mimpi untuk bersekolah ke luar negeri, tidak sedikit merekaa yang kuliah di luar negeri hari ini berawal dari membaca novel karya Andrea Hirata tersebut. Perlu dicatat, penulis-penulis besar sekelas Andrea Hirata, Tere Liye, Habiburrahman El-Shirazy tidak didanai. Tere Liye yang justru sering protes masalah royalti ke pemerintah.

Tidak hanya itu, novel bahkan mempengaruhi pola pikir para tokoh berpengaruh di Indonesia. Tahun 2017, presiden Joko Widodo pernah terekam media membeli novel karya Dee Lestari. Tahun berikutnya, Prabowo Subiantom enghebohkan nusantara dengan mengatakan Indonesia akan bubar pada 2030. Dia mengutip novel “Ghost Fleet” yang diklaim penulisnya adalah fiksi, namun di akhir halaman novel tersebut, saya menemukan referensi penulisannya tidak kurang dari 350 bacaan. Berangkat dari itu, bisa dibayangkan dampaknya jika para novelis didanai untuk menulis novel tentang lingkungan. Ke depan, salah satu profesi hijau yang sangat penting dipertimbangkan keberadaannya di Indonesia adalah “Eko-Novelis” atau penulis novel lingkungan hidup. Perlu ada transformasi dari pendanaan yang hanya terfokus pada penelitian atau jurnal lingkungan menuju pendanaan dalam cakupan lebih luas, yaitu novel tema lingkungan hidup.

Memang, bisa saja lembaga pendidikan pemerintah atau Perpustakaan Nasional mengarahkan para novelis untuk menulis tema lingkungan. Namun perlu dipahami, arahan saja tidak bisa dipakai bayar token listrik para penulis untuk menyalakan laptop mereka, arahan juga tidak bisa dipakai membeli konsumsi harian, apalagi jika penulis sudah berkeluarga. Belum lagi, satu novel butuh riset panjang agar memiliki jiwa yang menggerakkan pembacanya. Jelas, arahan tidak bisa menjamin kehidupan penulis selama masa riset yang memakan waktu berbulan-bulan, bahkan tahunan.

Penting diketahui, total pendanaan riset dan inovasi ilmu pengetahuan ditambah belanja perubahan iklim di Indonesia adalah 90 triliun per tahun (Budy, 2022; Kristianus, 2022). Dari angka tersebut, bisa digelontorkan 1 milyar saja per tahun untuk membuka jalan bagi profesi eko-novelis. Pemerintah bisa bekerja sama dengan penerbit dan penulis untuk fokus mengangkat isu-isu lingkungan.

Secara sederhana, sebutlah 120 juta per tahun per penulis, otomatis akan ada 8 penulis novel yang fokus meneliti ke lapangan berbagai problem lingkungan di Indonesia, total 960 juta. Sisa 40 juta bisa untuk kerjasama penerbitan dan publikasi.

Jika penulisan dan riset bertahun-tahun para novelis yang hanya mengandalkan kantong pribadi saja bisa melahirkan kisah-kisah penggugah batin, apalagi mereka didanai. Hal ini nantinya akan menggugah kalangan masyarkat yang jauh lebih luas untuk mengubah sikap mereka terhadap lingkungan.

Mengingat, jurnal lingkungan hasil pendanaan suatu instansi hanya menyentuh golongan akademis di kampus, itu pun dibaca karena tuntutan silabus, bukan untuk mengubah sikap. Anak SMP, SMA jarang sekali menyentuh jurnal, terjunlah ke pedesaan, lihat sendiri realitanya. Sementara novel dibaca dari kalangan SMP, SMA, universitas, bahkan oleh mereka yang tidak sekolah.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline