Lihat ke Halaman Asli

Rosiana

Pembelajar

Suka Duka Menjadi Buruh Kimia (Part 2)

Diperbarui: 30 Maret 2022   14:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Selamat malam Kompasianers! Di malam senin ini saya ingin melanjutkan cerita sebelumnya. Setelah diingat-ingat kembali ternyata masih banyak pengalaman duka yang saya rasakan! Jadi bolehkah saya melanjutkan cerita tentang kedukaan yang saya alami selama menjadi buruh kimia? Boleh lah yaaaaa hehe.

Jadi begini, pengalaman saya menjadi buruh kimia ini terjadi di tahun 2014. Hanya berdurasi kurang lebih lima bulan. Dua bulan masa magang (PKL), tiga bulan masa bekerja. Mungkin lima bulan bekerja bagi sebagian orang adalah waktu yang sebentar. Tapi entah kenapa kalau saya ingat-ingat lagi, saat itu waktu lima bulan rasanya lama.

Ya mungkin karena merasa berat menjalaninya, jadi terasa lama ha-ha. Tapi saya selalu bersyukur punya pengalaman menjadi buruh kimia. Karena itu memberi bekal pelajaran hidup yang sangat amat berguna hingga saat ini.

Kalian tahu rasanya menjadi perempuan yang harus bekerja bersama laki-laki dengan pekerjaan yang beresiko tinggi? Ya begitulah, menegangkan. Apalagi di saat itu kalian menjadi perempuan satu-satunya.

Coba nih Kompasianer-wati bayangkan gimana rasanya? Kebayang enggak tuh? Kalau masih enggak kebayang ya enggak apa-apa. Tak perlu maksain hehe.

Pernah ada satu waktu saya enggak bisa menerima kenyataan bahwa saya ini adalah perempuan. Karena apa? Karena ya seperti di cerita sebelumnya, saya sering digodain abang-abang teknisi.

Kadang saya bertanya ke Allah, "Ya Allah kenapa saya enggak jadi perempuan jelek aja sih?"

Pernah lebih parah punya pikiran begini, "Apa saya harus nyamar jadi laki-laki aja gitu ya pas kerja biar ga diogadain terus?"

Ya keinginan dan pertanyaan yang jauh dari masuk akal sering kali terbesit mana kala tubuh mulai lelah dengan beban pekerjaan. Itu juga menjadi duka tersendiri bagi saya pribadi.

Tetapi energi yang terkuras secara fisik enggak seberapa. Karena kalau lelah fisik masih bisa diatasi dengan beristirahat, liburan, makan-makan, bercanda tawa dengan handai taulan, dan masih banyak lagi.

Tapi bagaimana dengan lelah psikis atau istilah lainnya lelah batin? Ini bagi saya lebih melelahkan. Ini juga yang membuat saya akhirnya berani memutuskan untuk resign sejak dini.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline