Lihat ke Halaman Asli

Roman Rendusara

TERVERIFIKASI

Memaknai yang Tercecer

Pada Suatu Hari

Diperbarui: 29 Agustus 2021   12:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Putriku, Deogratia Quinozha Dhiru sedang membaca di atas pohon kersen. Foto: Ermelinda Sato

Bagi saya, bandara Haji Hasan Aroeboesman Ende adalah tempat paling menyedihkan yang dibangun di dunia ini. Orang yang merencanakan dan membangunnya tidak punya hati, saya berpikir begitu. Saya bayangkan, betapa indahnya hidup jika tidak ada bandara ini. Tidak ada yang namanya perpisahan.

Seperti pagi itu pukul 07.00 waktu biasanya, saya melangkah, menapak anak tangga, lalu masuk ke dalam pesawat udara Citilink dengan hati teramat sedih. Selama perjalanan, di dalam pesawat, saya diam menahan kata. Haru menusuk-tusuk sekujur tubuh. Tersisa pandangan hampa yang tertuju pada bertumpuk-tumpuk awan yang mengintip di balik jendela pesawat.

"Ayah, ayah, ayah...beli tiket untuk nona juga, ya. Hati-hati, ya. Ayah naik pesawat? Naik pesawat?"

Suara kecil putriku kuat mendobrak seluruh raga. Hingga langkahku nyaris tertahan. Tak terasa airmata jatuh sangat pasrah.

Saya tahu, ia akan merasa ada yang hilang, dari sisinya. Tentang kebersamaan sebagai ayah-anak, sebagai teman bermain petak umpet, dan sebagai teman baca yang setia, akan menjadi kenangan masa kecilnya yang tak bisa diulang kembali.

Nak, saya rindu ketika menyebut "pada suatu hari....". Sebab itu mujarab bagimu, kau tiba-tiba meninggalkan semua permainanmu, datang dan memelukku dengan manja, lalu kau simak kisah cerita dongeng yang dibacakan untukmu dari Kunang-Kunang. Setiap hari dilakukan untukmu.

Nak, tiba saatnya kau akan tahu makna "pada suatu hari..." di bandara itu. Kau pasti naik pesawat. Sama seperti ayahmu.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline