Lihat ke Halaman Asli

Roman Rendusara

TERVERIFIKASI

Memaknai yang Tercecer

Di NTT, Sampah Sisa Makanan untuk Babi

Diperbarui: 8 Desember 2020   15:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemberitahuan kepada warga yang hendak menikmati makanan dan minuman gratis dari relawan Sahabat Sedekah di kawasan Perumahan DKI Joglo, Jakarta Barat, Jumat (28/8/2020) via Kompas 3 September 2020

Food waste adalah masalah pemborosan makanan menjadi isu global yang hangat, terutama di tengah ancaman bencana kelaparan akibat krisis ekonomi yang disebabkan oleh pandemi Covid-19. 

Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) telah memperingatkan ancaman kelaparan yang dipicu oleh pandemi ini. Kemungkinan sebanyak 132 juta orang akan mengalami kelaparan pada 2020. (KOMPAS, 17/10).

Presiden China Xi Jinping mendorong warganya untuk menghemat dan mengurangi pemborosan makanan. Langkah itu diambil sebagai solusi krisis pangan akibat deraan pandemi Covid-19. Bahkan, untuk memastikan rakyatnya mematuhi aturan ini, Xi menggerakkan "operasi piring bersih".

Indonesia belum nampak komitmen pemerintah untuk mengajak warga hemat akan makanan. Solusi food waste masih sebatas gagasan. Belum dieksekusikan dalam kebijakan nyata. Semisal, ada gerakan "piring bersih" seperti di China.

Padahal, posisi Indonesia dalam Indeks Ketahanan Pangan Global dan Indeks Kelaparan Global menempati pada level menengah ke bawah. Artinya, masih sangat rentan berdampak kelaparan, akibat masih belum kokohnya ketahanan pangan. Hal ini diperparah dengan tingkat pemborosan makanan yang memprihatinkan.

Data Kementan 2018 (sebagaimana Kompas 22/11/2020) menunjukkan, Indonesia termasuk negara pembuang sampah makanan (food waste) urutan dua di dunia. Total sampah makanan 1,6 ton yang terbuang, dari total produksi pangan 290,8 juta ton. Sampah makanan per kapita dalam setahun rata-rata 6 kilogram.

Sampah makanan terdiri dari beras, sayur, buah, ikan, daging, telur, tempe/tahu, susu, kacang-kacangan, umbi-umbian, dan lain-lain (makanan ringan).

Dalam tingkat lokal, seperti Nusa Tenggara Timur (NTT) memang belum memiliki data sampah makanan. Akan tetapi, tidak berarti warga NTT tidak melakukan pemborosan makanan. Justru sampah makanan banyak ditemukan. Makanya, ada istilah 'mata lebih besar daripada perut'.

Istilah ini artinya, kadang-kadang kita tergoda oleh pandangan mata yang melihat sajian menu makanan yang enak di atas meja tanpa mempertimbangkan kesediaan perut. Naluri mata lebih kuat daripada daya tampung perut. Inilah sebabnya, makanan yang diambil tidak disantap sampai piring bersih.

Untungnya, di NTT makanan sisa tidak dibuang sia-sia. Makanan sisa dari rumah tangga ditampung dalam ember. Kemudian diberikan sebagai makanan babi.

Seperti yang dilakukan Mama Maria Yustina Wonga (60), seorang ibu rumah tangga di Kelurahan Kota Ratu, Kecamatan Ende Utara, Kabupaten Ende, NTT. Ia memelihara dua ekor babi, di kandang samping rumahnya. Ia tidak membutuhkan pakan toko. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline