Lihat ke Halaman Asli

Choirul Huda

TERVERIFIKASI

Kompasianer sejak 2010

Selamat Hari Wayang Nasional

Diperbarui: 8 November 2015   17:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

KEMARIN, Sabtu (7/11) tepat 12 tahun diresmikannya wayang sebagai warisan dunia oleh Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan (Unesco). Dalam lembaga yang bernaung di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) itu, wayang ditetapkan dalam daftar Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanitiy pada 7 November 2003.

Beberapa tahun berikutnya, menyusul lima warisan nusantara lainnya, seperti Keris, Batik, Angklung, Tari Saman, dan Noken. Ironisnya, hingga kini, pemerintah kita belum menetapkan adanya Hari Wayang. Mungkin, bagi sebagian pihak, tidak penting. Namun, sejatinya, dengan adanya peringatan Hari Wayang nasional tentu tidak berlebihan. Sebab, wayang memang sudah dikenal di kolong langit ini sebagai warisan yang tak ternilai sebagai mahakarya. Bahkan PBB pun mengakuinya.

Sayangnya, sejak beberapa tahun terakhir, berbagai usulan dari komunitas wayang, praktisi, hingga dalang seperti Ki Manteb Soedharsono, mungkin dianggap pemerintah sebagai angin lalu. Padahal, apa sulitnya, sekadar menetapkan dalam kalender resmi, mengingat wayang sudah dikenal di seluruh Tanah Air. Meski begitu, saya berharap ke depannya, pemerintah atau instansi terkait, turut menetapkan Hari Wayang Nasional seperti halnya batik yang diperingati setiap 2 Oktober.

 

APA sih yang menarik dari wayang? Sejak kecil saya saya sudah menggemari wayang. Jauh sebelum mengenal klub favorit seperti Juventus, kartun luar negeri Doraemon, Dragon Ball, Spider-Man, The Avengers, Superman, Tintin, dan sebagainya. Kalau tidak salah ingat, ketika usia saya masih beberapa tahun yang sering melihat pertunjukkannya di stasiun televisi nasional, TVRI.

Meski tidak mengerti bahasa Jawa dan bahasa Sunda saya masih minim, namun ada keasyikan tersendiri bisa menyimak pertunjukkan wayang. Baik di televisi, radio (pada dekade 1990-an), youtube, atau menyaksikannya langsung. Kebetulan, sejak menetap di Jakarta pada 2010, saya kerap menonton pementasan wayang, baik yang didalangi Ki Manteb Soedharsono, Ki Anom Suroto, Ki Sigit Ariyanto, hingga almarhum Asep Sunandar.

Ya, halangan bahasa (Jawa dan Sunda) yang minim tidak membuat saya patah arang.  Sebaliknya, justru ada keasyikan tersendiri jika melihat aksi panggung dan tata cahaya dalam pertunjukkan wayang. Terkadang jika saya menonton bersama teman yang bisa bahasa Jawa (ngapak, halus, dan kromo) dan Sunda, saya kerap meminta untuk diterjemahkan.

Apalagi, jika sedang rehat, dengan kehadiran punakawan dalam Goro-goro. Aksi, Semar, Petruk, Gareng, dan Bagong, kerap membuat saya dan penonton terpingkal-pingkal. Tentu, kehadiran mereka tidak hanya sekadar melawak saja, melainkan juga memberi contoh yang menginspirasi. Ya, bagaimanapun, punakawan merupakan tokoh asli buatan nenek moyang kita yang tidak ada kaitannya dengan India, sebagai negara asal cerita wayang.

Sekadar info, memang terdapat sedikit perbedaan cerita antara wayang nusantara dengan versi India. Tapi, itu wajar mengingat proses asimilasi yang tentu tidak harus sama dengan versi asalnya. Apalagi, wayang itu sangat unik. Untuk satu cerita, bisa berbeda tergantung pada daerahnya. Misalnya, di kawasan Jawa Tengah antara Banyumas dengan Solo dan Yogyakarta, beda. Begitu juga dengan Bandung dan Cirebon atau Bali dan luar Jawa lainnya, tidak sama. Pun begitu di antara dalang yang tergantung improvisasi mereka.

Saya pribadi, cenderung menyukai Mahabharata yang mengisahkan peperangan Pandawa dengan Kurawa ketimbang Ramayana. Namun, untuk lakon, saya mengakui sangat mengidolai tema Kumbakarna Gugur. Entah berapa kali saya melihatnya hingga semalaman suntuk pun tidak pernah bosan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline