Lihat ke Halaman Asli

Panggilan Hidup Religius: Sebuah Seni Merayakan Kekaguman Ilahi

Diperbarui: 31 Maret 2022   08:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

                                                                                                                                                                                        Foto: Dokumen pribadi

Dalam sebuah moment sederhana, sekitar tahun 1998-1999 di sebuah lembah yang sangat dingin “lembah pagal” aku merasakan adanya decak kagum yang begitu mempesona dari kedalaman jiwaku. Sampai sekarang pun rasa kagum itu masih ada dan mungkin tak akan lekang oleh waktu. Banyak tahun telah kulewati. 

Berbagai lembah, gunung bukit, hutan dan sungai telah kususur. Tapi entah kenapa, rasa kagum itu tak kunjung hilang. Masih mengagumi panorama yang sama, tatkala aku menatapnya dengan tatapan polos “seorang bocah tengik lima tahunan”.

Waktu itu, dari balkon Gubuk tua nan megah “Gereja Kristus Raja Pagal” kedua bola mataku menyaksikan perjamuan Tuhan di meja altar. Perjamuan kudus itu dipimpin oleh seorang pastor tua dari Ordo Fransiskan yang berkarya di paroki kami. 

Pastor itu terkenal dengan kesederhanaannya yang bersahaja dan karakter jenaka yang unik. Gereja itu terletak di pusaran lembah Pagal yang dikelilingi oleh bukit-bukit dan hutan. Menurut cerita lisan orang-orang Pagal Gereja tua yang memiliki tiga buah candi menjulang itu adalah peninggalan Belanda saat masa kolonial dulu.

Selanjutnya, semakin ke sini, menyusuri petualangan hidup yang sudah seperempat abad aku jalani, semakin indah dan mempesonalah panorama ilahi yang kukagumi dulu saat aku masih bocah ingusan. Meski harus kuakui kenakalan masa remaja sempat membuat panorama kekaguman itu menjadi buram karena pesona duniawi. 

Tetapi toh ada suatu titik di mana pada akhirnya aku kembali menemukan moment saat bocah ingusan itu. Sedikit lebih pesimis saya mau mengatakan bahwa keputusan besar dalam hidupku  sudah terbentuk sejak saat itu. 

Bahwa suatu saat nanti saya harus mengenakan jubah coklat anggun seperti yang dikenakan oleh pastor itu. Bahwa suatu hari nanti saya harus berada di altar suci itu dan meryakan kekagumanku yang disebut dengan Perayaan Ekaristi.

Kini aku pun sedang berjuang menyempurnakan sambil terus merayakan rasa kagum itu di jalan hidup membiara sebagai misionaris Claretian. Teringat olehku sebuah cerita tentang seorang anak kecil yang berambisi mendaki sebuah gunung yang tinggi menjulang. Semua orang meragukannya. 

Karena fisik anak kecil itu sangat tidk memungkinkan untuk bisa menggapai puncak gunung itu. Tetapi dengan penuh pesimis dia mengatakan “jiwaku telah berada di atas puncak itu. 

Sekarang aku tinggal membawa tubuhku ke sana”. Kekecilan fisik saat masih bocah lima tahunan tidak membuatku cemas untuk terus merayakan kekaguman itu sepanjang hidupku. Hingga suatu saat nanti aku meneguk dan merasakan kenikmatan Darah suci Tuhan di meja altar itu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline