Lihat ke Halaman Asli

Roberto Armando

pemerhati politik

Tak Tahan Jadi Oposisi, PKS Dulu Caci-Maki Kini Ingin Gabung Koalisi

Diperbarui: 3 Mei 2024   13:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

CNBC Indonesia/(Tangkapan Layar YouTube KPU RI)

"Tidak semua orang tahan menjadi oposisi." Begitu bunyi pernyataan Anies Baswedan saat mengkritik Prabowo Subianto pada debat kandidat jelang Pilpres 2024. Kala itu calon presiden yang diusung Partai Nasdem, PKB, dan PKS tersebut menuding lawan politiknya itu sebagai sosok yang oportunis: kalah dalam kontestasi, tetapi tetap ingin menikmati kue kekuasaan meski harus merendahkan harga diri dengan menjadi bawahan.

Cibiran itu rupanya sekarang berbalik arah. Tidak lama berselang usai Anies kalah dalam pemilihan, partai politik pengusungnya berebut untuk masuk ke dalam pemerintahan. Mungkin saja, seperti perkataan Anies sebelumnya, mereka tidak tahan untuk menjadi oposisi dalam lima tahun mendatang. Biarlah saat ini mereka menjilat ludah sendiri asalkan nanti bisa ikut mendapatkan jatah kursi menteri.

Keinginan untuk merapat ke koalisi Prabowo  diamini oleh Presiden PKS, Ahmad Syaikhu. Ia mengaku telah membuka sejumlah komunikasi dengan orang-orang dekat Prabowo dan Partai Gerindra. Bahkan, Sekjen PKS, Aboe Bakar Al Habsyi, lebih terang-terangan dalam menyatakan harapan bahwa partainya ingin  diajak bergabung ke koalisi pemerintahan seperti dua sejawatnya, Nasdem dan PKB.

Khianati Suara Oposisi

Khusus untuk Nasdem dan PKB, sudah banyak orang yang menduga bahwa keduanya akan tetap merapat ke kandidat pemenang pilpres. Pasalnya, pada pemerintahan sebelumnya, mereka merupakan bagian dari kekuasaan. Ditambah lagi, kedua parpol itu memang cenderung pragmatis. Mereka akan berupaya merapat karena menjadi bagian pemerintahqn menguntungkan secara ekonomis dan politis. Jadi, sudah jauh-jauh hari, banyak pihak yang memprediksi keduanya bakal berbalik arah dengan mengkhianati suara oposisi pemerintah.

Namun, tidak begitu halnya dengan PKS. Sejak awal partai politik oposisi itu sangat getol menyuarakan jargon perubahan. Suara mereka paling keras. Kritikan mereka paling tajam. Publik masih bisa mengingat dengan jelas bagaimana lantangnya politikus PKS berteriak, "Prabowo curang," "Gibran anak haram konstitusi," "tolak makan siang gratis," atau "batalkan IKN (Ibu Kota Nusantara) yang baru."

Tidak berhenti di sana, mereka juga paling terdepan dalam mencaci-maki dan mengolok-olok Partai Demokrat, terlebih setelah Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) mendapat kursi menteri di Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi). Padahal, jika diingat-ingat, sikap Demokrat yang mengalihkan dukungan dari Anies ke Prabowo juga akibat akrobat politik mereka yang secara sepihak menetapkan calon wakil presiden.

Suka Bermuka Dua

Upaya PKS untuk merapat ke koalisi pemerintah tidak akan mudah. Banyak pihak yang meyakini bahwa Prabowo bakal sulit menerima kehadiran PKS di pemerintahannya. Alasannya cukup masuk akal. Pertama, parpol-parpol di Koalisi Indonesia Maju (KIM) sudah menyatakan penolakan, terlebih Partai Gelora, partai yang para petingginya merupakan orang-orang yang pindah dari PKS karena kebijakan yang tidak sejalan.

Kedua, gaya politik PKS yang cenderung bermuka dua dalam berkoalisi. Prabowo tentu menyadari bagaimana sikap PKS saat menjadi bagian kekuasaan pada masa Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Meski saat itu PKS menjadi bagian dari koalisi, sikap mereka cenderung seperti oposisi. Jadi, jika sekarang diajak bergabung lagi, bukan tidak mungkin mereka akan kembali mengulangi penggembosan terhadap pemerintahan dari dalam.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline