Perhelatan Pemilihan Kepala daerah (Pilkada) Lebak antara pasangan Hj. Iti dan Ade Sumardi melawan Kolom Kosong dengan partisipasi yang cenderung apatis, ini terlihat dari data hasil rekapitulasi perolehan suara, dengan tingkat partisipasi hanya 54%, ini bertolak belakang dengan apa yang digembor-gemborkan oleh komisoner KPU beberapa waktu lalu yang menargetkan tingkat partisipasi di pilkada Lebak yaitu 80%. Dalam hal ini, KPU selaku penyelengara pemilu dinilai gagal.
Asumsi saya, bahwa proses sosialisasi yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu tidak sampai kepada akar rumput, justru saya dalam hal ini mempertanyakan kembali peran mereka sebagai penyelenggara. jangan sampai masyarakat menilai bahwa KPU menjadi subjek kemunduran partisipasi pemilih.
Persoalan lain yang ingin saya katakan bahwa Demokrasi di Kabupaten Lebak mengalami kemunduran kualitas demokrasi, adanya calon tunggal bukan hanya di cap sebagai racun bagi demokrasi di Kabupaten Lebak, ini juga disertai dengan partisipasi masyarakat Lebak yang lemah, bahkan tidak menghiraukan adanya hajat demokrasi.
Dari fakta ini saya menduga atusiasme masyarakat menghadapi pilkada ini lemah, karena incumbent sebagai calon tunggal membungkam partai-partai yang sejatinya partai menjadi wadah untuk pendidikan politik masyarakat, agar masyarakat memiliki melek politik yang tinggi, parpol harusnya berkomitmen memberikan edukasi politik, dan ini merupakan ranahnya partai politik.
di sisi lain, saya menilai bahwa pilkada lebak merupakan bentuk keterpaksaan yang dibangun oleh para elite agar kekuasaan tetap dalam genggaman dinasti, maka kemudian ini berimbas sebagian masyarakat memilih tidak hadir untuk memberikan suara.
Demokrasi yang tidak sehat ini harus segera di akhiri, harus ada formulasi dari partai-partai politik agar konsisten dalam menjaga iklim demokrasi.