Lihat ke Halaman Asli

Mochamad Rizki Fitrianto

Freelancer Writer

Toxic Positivity, Kebaikan yang Tidak pada Tempat dan Waktunya

Diperbarui: 21 Januari 2020   07:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Sebagian dari kita mungkin pernah mengalami kesedihan, entah karena masalah pekerjaan, rumah tangga, kisah asmara dll. Dan beberapa dari kita ada yang memilih untuk diam saat mengalami kesedihan ada pula yang memilih mencari tempat berbagi kesedihan. 

Tidak ada yang salah dari keduanya, masing-masing memiliki kelebihanya masing-masing. Bagi orang yang memiliki kepribadian introvert atau cenderung pendiam pasti akan lebih memilih untuk "merahasiakan" kesedihan yang mereka alami, dan seandainya pun memilih untuk membagikan kesedihan yang mereka alami mereka akan memilih orang tertentu yang menurut mereka dapat dipercaya menyimpan cerita mereka. 

Sedangkan orang dengan karakter ekstrovert dalam mengalami kesedihan akan lebih mudah melampiaskan kesedihan mereka, mereka tak sungkan berbagi cerita dengan siapapun, bahkan dalam kondisi tertentu ada yang meng-share atau melampiaskan kesedihan mereka di sosial media, walaupun tentu tidak semua orang ekstrovert seperti itu.

-

Kembali lagi ke topik utama, mungkin ada beberapa diantara kita sudah tidak asing dengan istilah toxic positivity, mengutip www.tirto.id 26 februari 2019, Dr. Jiemi Ardian, salah seorang residen psikiatri dari RS Muwardi Solo, mengunggah pesan di akun sosial medianya tentang toxic positivity. 

Dalam unggahan tersebut, ia mendikotomi antara bentuk-bentuk ekspresi empati dan ucapan yang mengandung toxic positivity. 

Istilah yang terakhir disebutkan ini merupakan istilah populer yang mengacu pada situasi ketika seseorang secara terus menerus mendorong orang lain yang sedang tertimpa kemalangan atau kesedihan untuk melihat sisi baik dari kehidupan, tanpa pertimbangan akan pengalaman yang dirasakan kenalannya itu atau tanpa memberi kesempatan kenalannya untuk meluapkan perasaannya. 

-

Terdengar kejam dan seolah memaksakan keadaaan, namun itulah kenyataanya, banyak diantara kita yang begitu mendengar keluh kesah dari seseorang tentang kemalangan atau kesedihan yang mereka sedang alami akan bergegas mengatakan "ngga apa-apa" atau "ambil positifnya aja" atau "kamu pasti bisa" atau yang paling sederhana "itu wajar, seharusnya kamu bersyukur" dll. 

Ungkapan atau motivasi tersebut memang wajar kita berikan kepada orang yang sedang mengalami masalah, namun siapa sangka ungkapan seperti itu justru seringkali tidak sebaik maksudnya, pernahkan kita terbesit apa yang dirasakan oleh orang yang mendengar ungkapan tersebut, apakah mereka akan baik-baik saja? apa mereka langsung menerima motivasi yang kita berikan?

-

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline