Lihat ke Halaman Asli

Geheim

Diperbarui: 7 Mei 2019   07:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Prolog

Pria itu bersimpuh, mendekap wanita yang bersimbah darah di lantai dengan erat. Mulutnya tak berhenti memanggil namanya agar wanita itu bangun, meskipun ia tahu itu tak akan berguna. Sekuat apapun ia memeluknya, sekeras apapun ia memanggil namanya, wanita itu telah pergi selamanya, meninggalkan separuh kekosongan dalam jiwa pria itu.

Kini, penyesalan memenuhi pikiran sang pria. Seandainya ia melarang sang wanita untuk pergi ke luar rumah, seandainya ia bisa menjaga sang wanita dengan lebih baik, seandainya ia tidak begitu sibuk, seandainya ia tidak datang terlambat barang semenit pun saat sang wanita diselimuti bahaya...

Sang pria tak peduli apakah ia harus kehilangan hartanya, bahkan jiwanya sekalipun, jika ia harus menukarnya dengan waktu, agar ia bisa kembali ke masa lalu dan mencegah nyawa sang wanita direnggut paksa oleh tangan-tangan setan itu.

Dua hari kemudian, sang pria kini berdiri di pusara makam sang wanita. Benar-benar tidak ada niatan sedikit pun ia meninggalkan tempat itu barang satu senti. Tepukan para kerabat pada pundaknya yang mengajak ia untuk segera pergi pun langsung ia tepis begitu saja. Setelah beberapa orang menyeretnya paksa, ia baru bersedia untuk meninggalkan tempat itu.

Kesedihan itu terus berlanjut hingga berhari-hari setelahnya. Yang ia lakukan hanyalah meratapi segalanya yang sudah berlalu. Kondisi tubuhnya sendiri bahkan ia telantarkan. Biar saja ia mati, pikirnya, supaya ia bisa menemani sang wanita di alam sana. Rasanya lebih baik begitu, daripada ia menderita seumur hidup karena kehilangan separuh jiwanya yang belum genap dua tahun ia miliki sepenuhnya.

Namun, pikiran itu sirna begitu saja, kala ayah sang wanita menghampirinya dengan seorang manusia mungil di dekapannya, hadiah terindah yang diberikan Tuhan lewat sang wanita. Perlahan, ia menggendong duplikat mungil sang wanita dan menatap setiap senti wajah mungilnya. Betapa sempit pikirannya, mengira hidupnya telah berakhir begitu saja. Hampir saja ia melupakan fakta kalau ia masih mempunyai kebahagiaan kecilnya itu.
"Dia adalah kesempatan terakhirmu.", ucap ayah sang wanita.

Benar, Tuhan masih memberikannya kesempatan. Cukup satu kali keburukan menimpa orang yang ia sayang. Cukup satu kali ia terlambat. Kali ini, ia tak akan membiarkan hadiah terindah itu juga mengalami hal yang serupa.

Pria itu mengangguk, "Aku akan benar-benar menjaganya dengan baik.", janjinya.

Satu

"Bangun, Nara. Kita udah sampai."

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline