Dalam Ilmu Sosiologi, terdapat empat paradigma utama yang dikembangkan oleh Burnell & Morgan (1979). Burnell & Morgan membuat pengelompokan paradigma sosiologi yang dapat membantu kita untuk memahami "cara pandang" terhadap aliran dan ilmu-ilmu sosiologi. Empat paradigma tersebut diantaranya adalah: Radikal Humanis, Radikal Strukturalis, Interpretatif, dan Fungsionalis. Jika dianalisis dengan pendekatan Islam, masing-masing paradigma ini memiliki relevansi dengan nilai-nilai Islam. Artikel ini akan membahas bagaimana keempat paradigma tersebut dikaji dalam perspektif Islam serta menganalisis paradigma manakah yang lebih mewakili Islam?
1. Radikal Humanis
Paradigma ini menekankan kesadaran individu terhadap sistem sosial yang mengekang dan mengalienasi manusia. Dalam perspektif Islam, paradigma ini dapat dikaitkan dengan konsep tazkiyatun nafs (penyucian jiwa) dan amar ma'ruf nahi munkar (mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran). Islam menentang eksploitasi yang menindas manusia, seperti riba dan kapitalisme ekstrem yang menyebabkan ketimpangan sosial. Rasulullah SAW memperjuangkan pembebasan manusia dari sistem yang menindas, sebagaimana dalam dakwahnya kepada masyarakat jahiliyah. Dalam Islam juga terdapat konsep ukhuwah Islamiyah (persaudaraan Islam) yang menekankan solidaritas sosial dan menolak alienasi individu dalam masyarakat. Namun, Islam tidak hanya mengajarkan perubahan pada individu, tetapi juga mendorong perubahan pada sistem atau aturan yang ada di masyarakat. Oleh karena itu, paradigma ini memiliki keterbatasan dalam perspektif Islam.
2. Radikal Strukturalis
Penganut paradigma ini memperjuangkan perubahan sosial secara radikal tetapi dari sudut pandang objektivisme. Islam juga memiliki konsep perubahan sosial yang bersifat struktural, terutama dalam membangun masyarakat yang adil. Hijrah Nabi Muhammad ﷺ dari Makkah ke Madinah merupakan transformasi struktural dari masyarakat jahiliah menuju sistem Islam yang berkeadilan. Sistem ekonomi dalam Islam, seperti zakat dan larangan riba yang memiliki tujuan untuk menghilangkan ketimpangan sosial. Konsep khilafah dan kepemimpinan Islam menekankan adanya sistem pemerintahan yang menegakkan keadilan sosial dan kesejahteraan umat. Berbeda dengan paradigma radikal strukturalis yang sering mengusulkan perubahan berbasis konflik, Islam menekankan perubahan struktural yang damai dan bertahap sesuai dengan kemaslahatan.
3. Interpretatif
Paradigma ini memiliki katakteristik penganut yang memahami kenyataan sosial apa adanya, kenyataan sosial tersebut dibentuk oleh kesadaran dan tindakan seseorang yang langsung terlibat dalam peristiwa sosial, bukan menurut orang lain yang mengamati. Dalam Islam, hal ini dapat dikaitkan dengan ijtihad, ijtima', dan ijtihad jama'i, yang menekankan pemahaman mendalam terhadap fenomena sosial berdasarkan Al-Qur’an dan Hadis. Metode tafsir dalam memahami Al-Qur’an sejalan dengan paradigma interpretatif karena menyesuaikan dengan konteks sosial dan budaya. Fiqh sosial berusaha menafsirkan hukum Islam agar tetap relevan dengan perubahan zaman. Makna ibadah dalam Islam sering kali bersifat subjektif, di mana setiap individu memiliki pengalaman spiritual yang berbeda. Namun, Islam tidak hanya mengandalkan pemahaman subjektif, tetapi juga mengatur kehidupan sosial secara struktural dan normatif. Oleh karena itu, paradigma ini tidak sepenuhnya mewakili pendekatan Islam.
4. Fungsionalis/Positivis
Paradigma Fungsionalis melihat masyarakat sebagai sistem yang terdiri dari berbagai bagian yang saling berkontribusi untuk menjaga keseimbangan. Islam menekankan keseimbangan sosial atau yang disebut sebagai mizan, serta pembagian peran dalam masyarakat berdasarkan prinsip keadilan dan harmoni. Zakat dan wakaf sebagai sistem ekonomi Islam berfungsi untuk menjaga keseimbangan sosial dan ekonomi. Namun, paradigma fungsionalis sering kali dianggap terlalu pasif dalam menghadapi ketimpangan sosial, sementara Islam tetap menekankan adanya amar ma’ruf nahi munkar, yaitu keterlibatan aktif dalam menegakkan keadilan.
Dari keempat paradigma tersebut, radikal strukturalis dan fungsionalis lebih mencerminkan nilai-nilai Islam dibandingkan yang lain. Jika berfokus pada perubahan sosial Islam yang menegakkan keadilan dan menghapus sistem yang menindas, maka radikal strukturalis lebih dekat dengan Islam. Jika menitikberatkan pada harmoni sosial dan keseimbangan dalam masyarakat Islam, maka fungsionalis lebih mendekati Islam. Sementara itu, paradigma interpretatif dan radikal humanis tetap relevan, tetapi lebih terkait dengan pemahaman subjektif individu dalam Islam dan kesadaran spiritual. Islam sendiri menggabungkan unsur-unsur terbaik dari setiap paradigma, dengan tetap berlandaskan tauhid, keadilan, dan kesejahteraan umat.