Lihat ke Halaman Asli

Rizka Aulia

Pejuang Sarjana

Budaya "Ngedunke Lemah" Masih Dilestarikan di Tahunan, Jepara

Diperbarui: 5 Januari 2020   09:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Ngedunke lemah merupakan salah satu budaya jawa yang masih dilestarikan di Jepara, khususnya di desa Tahunan. Ngedonke lemah biasa dikenal dengan istilah "tedhak siten" yang artinya dalam bahasa Indonesia adalah menginjak tanah, sedangkan dalam bahasa jawa ngoko disebut medon lemah. 

Nah dari sinilah masyarakat Tahunan, Jepara lebih sering menggunakan istilah ngedunke lemah karena dianggap biasa dengan bahasa sehari-hari mereka. 

Ngedunke lemah "Tedhak siten" pada hakikatnya adalah sama hanya saja istilah penyebutannya yang berbeda. Bedo deso bedo coro "beda desa beda cara" begitulah masyarakat sering menyebutnya. 

Namun tak ayal jika keduanya memiliki tujuan yang sama yaitu sebagai bentuk rasa syukur karena sang anak akan mulai belajar berjalan. Ngedunke lemah biasanya dilakukan ketika sang anak telah menginjak umur 7 lapan (bulan).

Upacara ngedunke lemah juga tidak lepas dari berbagai symbol dan makna. Secara keseluruhan, upacara ini bermakna untuk mengajarkan anak tentang konsep kemandirian, tanggung jawab, tangguh dalam menghadapi persoalan, serta bersifat dermawan terhadap sesamanya.  

Setiap langkah dan aspek dari upacara ini menyimbolkan hal-hal tertentu dalam kehidupan sang anak, dan inilah yang membuat upacara ini penuh warna. Tahapan dalam upacara ngedunke lemah di desa Tahunan adalah sebagai berikut:

Pembacaan doa dan membersihkan kaki

Para orangtua akan melakukan selamatan bersama. Biasanya dalam tahap ini sang anak akan didoakan (pembacaan tahlil dan ayat suci al-quran) agar hidupnya kelak akan diberi keselamatan serta kebahagian dari sang Maha Kuasa. Tahap ini kaki sang anak juga akan dibasuh dengan air oleh sang kyai atau sesepuh dalam keluraga.

Berjalan pada 7 wadah

Dalam tahap ini sang anak akan dituntun untuk berjalan diatas 7 bubur ketan (sebuah makanan yang dibuat dari beras ketan dan kelapa yang dikukus, dihaluskan dan dicetak). 

Jumlah 7 mengacu pada bahasa Jawa Pitu yang artinya adalah pitulung atau pertolongan. Proses ini diharapkan dalam perjalanan kehidupannya kelak akan senantiasa diberikan pertolongan oleh Allah SWT.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline