Lihat ke Halaman Asli

Risman Senjaya

Writer Wannabe

Jerat Nista

Diperbarui: 22 Desember 2020   14:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

www.pixabay.com


Aku terdiam menatap sosok wanita yang berdiri tak jauh dariku. Ada sedikit keraguan bahwa wanita ini hanya mirip saja. Namun ada hal yang begitu personal membuatku yakin tak salah orang. Di lengan kirinya melingkar jam tangan yang dulu pernah Aku berikan. Sejenak Aku bimbang, haruskah kusapa atau tidak. Sementara ini kupilih untuk tidak menyapa.

Aku lalu mengambil tempat duduk di bagian depan. Sambil menunggu pesanan, mataku tak henti menatap wanita itu. Pikiranku melayang ke masa lalu. Saat Aku dan dia begitu dekat. Bukan sebagai kekasih apalagi suami-istri, hanya sebagai..., ah bingung Aku menyebutnya. Katakanlah sebagai friend with benefit.

Seorang pelayan yang mengantarkan pesanan, memutus lamunanku. Seporsi pecel lele, lengkap dengan sayur asem, tahu tempe dan lalapan. Tak lupa segelas teh manis hangat untuk penawar dahaga. Apa yang tersaji menggugah seleraku yang bosan dengan masakan hotel tempatku menginap. Mari makan!

Aku makan dengan lahap. Entah karena lapar atau memang doyan. Sambil melahap hidangan, sesekali Aku melirik wanita itu yang sedang meracik sambal dan menata pesanan. Ah, dia masih seperti tiga tahun lalu, cantik. Yang berbeda hanyalah rambutnya yang dulu berwarna coklat karamel, kini berwarna hitam. Ah, biarlah itu semua jadi kenangan. Mantap kuputuskan untuk tidak menyapanya. Selesai makan, segera kubayar dan cepat pergi.

Aku sedang membuka pintu mobil saat seseorang memanggil namaku. Suaranya terasa akrab ditelingaku. Ketika Aku menoleh dan berbalik arah, tiba-tiba saja sang pemilik suara memelukku. Aku hanya mematung tak menyambut pelukannya.

"Jahat! Jahat! Bang Rifki jahat! Sudah jauh-jauh mampir malah ngga mau ketemu Anggi," ujar wanita itu sambil memukul dadaku manja.

"Abang ngga mau mengganggu kamu yang sibuk bekerja." Aku menggaruk kepala yang tak gatal. Aduh kenapa pula ketahuan begini, batinku. Aku seperti maling yang tertangkap basah. Aku memikirkan bagaimana caranya lepas dari situasi ini.

Anggi lalu menarik tanganku, kembali menuju ke lapak pecel lelenya. Aku menurut saja seperti kerbau dicucuk hidung. Kami lalu duduk di kursi paling belakang. Kami duduk berhadapan terpisahkan meja.

"Mas Rifki apa kabarnya? Kemana aja selama ini? Koq ngilang gitu aja. Nomornya ngga aktif, pasti Bang Rifki ganti nomor yah? Koq bisa sampai di sini?" cecar Anggi. Pupil matanya membesar. Ia terlihat begitu antusias.

"Kabar Abang baik. Kabar kamu sendiri bagaimana? Abang ke kota ini dalam rangka tugas kantor," jawabku.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline