Lihat ke Halaman Asli

riska indayana

S1 Perencanaan Wilayah dan Kota 2019, Universitas jember

Obligasi Daerah Mengantisipasi Menurunnya Jumlah Pasar Tradisional di Situbondo

Diperbarui: 12 Mei 2020   13:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Kabupaten Situbondo merupakan salah satu Kabupaten di Jawa Timur yang hingga kini masih banyak yang tertinggal dari sudut pandang ekonomi. Fakta bahwa sampai sekarang hasil pertanian tropis, seperti mangga (varietas manalagi, gadung dan arumanis) masih menjadi fondasi masyarakat dan menjadi ekonomi potensial dengan kapasitas besar yang tidak dimiliki daerah lain dan menghasilkan permintaan tinggi, terutama dari luar daerah. Namun, untuk pertanian atau hortikultura masih diproses dalam industri skala kecil dan belum ada proses industri dengan skala menengah dan besar. Sangat ironis bahwa kemiskinan masih terjadi di daerah-daerah yang benar-benar memiliki sumber daya yang melimpah, kondisi ini terjadi karena mereka mengalami keterbatasan akses masyarakat pedesaan ke pusat-pusat bahan baku dan pemasaran di daerah perkotaan. Mayoritas masyarakat Situbondo masih mengandalkan konsumsi industri dan rumah tangga, sebagai penopang perekonomian di pedesaan. Hal itu membuat berbagai akses ke keuangan serta sumber pendanaan untuk keberlanjutan ekonomi masyarakat tidak dapat dijangkau oleh publik ketika mereka membutuhkan dukungan modal yang lebih besar secara formal.
Menanggapi fenomena kemiskinan di Situbondo, revitalisasi pasar tradisional merupakan salah satu alternatif untuk mengatasi masalah kemiskinan di Situbondo tanpa mengabaikan nilai-nilai budaya masyarakat setempat, bahwa pasar sebagai pusat interaksi sosial. Di satu sisi pengembangan dan revitalisasi membutuhkan dana besar, di sisi lain Pendapatan Asli Daerah (PAD) atau pendapatan yang dikumpulkan oleh pemerintah daerah masih belum dapat sepenuhnya mendukung pencapaian revitalisasi. Oleh karena itu, dalam rangka mengembangkan dan mensukseskan program revitalisasi pasar tradisional melalui pemberdayaan Koperasi Pasar (Koppas) dan mengantisipasi berbagai bentuk penyebab menurunnya jumlah pasar tradisional yang sedang diprakarsai oleh pemerintah saat ini, maka salah satu alternatif adalah penerbitan Obligasi Daerah yang merupakan utang pemerintah daerah kepada publik sebagai investor atau pemegang surat berharga.
Obligasi Daerah adalah skema pendanaan yang memiliki transparansi dan dapat diakses oleh semua pihak. Obligasi Daerah diharapkan melalui akses mereka ke pasar modal sebagai sarana untuk memobilisasi dana; alat media serta distribusi pendapatan investasi untuk seluruh masyarakat dengan mekanisme terbuka. Akhirnya, selain dampak finansial, Obligasi Daerah akan memberikan manfaat non-finansial seperti dengan partisipasi masyarakat langsung, rasa kepemilikan dan pengelolaan sumber daya lokal akan meningkat dan pada saat yang sama publik dapat berpartisipasi untuk mengendalikan program-program pemerintah. Kebutuhan akan pembangunan infrastruktur serta sistem dan modal masyarakat situbondo dapat dipenuhi dengan membentuk Obligasi Daerah. Undang-Undang Hukum yang mendasari penerbitan Obligasi Daerah didasarkan pada UU No. 25 Tahun 1999, pasal 11 yang menyatakan bahwa daerah dapat melakukan pinjaman jangka panjang. UU No. 25, 1999 ditingkatkan dengan UU No. 33 Tahun 2004, yang menyatakan bahwa salah satu bentuk pinjaman yang dapat diperoleh dari area publik adalah dengan menerbitkan Obligasi Daerah.
Undang-undang ini didukung oleh Peraturan Pemerintah (PP) No. 54 Tahun 2005 dan PMK No.147/PMK.07 / 2006 tentang Pinjaman Daerah telah diubah dengan PMK No. 180 /PMK.07 / 2015. Berbagai undang-undang mengatur persyaratan dan mekanisme untuk setiap wilayah yang akan menerbitkan Obligasi Daerah. Obligasi Daerah dapat bersumber dari Pemerintah lain; Pemerintah Daerah Lainnya; Lembaga Keuangan Bank dan Non-Bank serta Masyarakat. Obligasi Daerah yang bersumber dari masyarakat dalam bentuk Obligasi Daerah diterbitkan melalui pasar modal. Berdasarkan UU No. 33 Tahun 2004, Obligasi Daerah tidak dijamin oleh pemerintah pusat. Oleh karena itu, berbagai ketentuan untuk daerah yang akan diterbitkan Obligasi Daerah harus memenuhi berbagai persyaratan, sebagai berikut:

a. Obligasi Daerah harus diterbitkan menggunakan Rupiah dan diterbitkan melalui Pasar Modal Domestik

b. Sebagian dari area pinjaman, jumlah obligasi yang diterbitkan dalam periode tertentu ditambah jumlah pinjaman dalam bentuk lain yang akan ditarik pada periode yang sama dan sisa jumlah pinjaman maksimum adalah 75% dari total pendapatan dalam anggaran berdasarkan tahun sebelumnya.

c. Pemerintah daerah untuk menerbitkan obligasi tidak boleh memiliki tanggungan /tunggakan pembayaran pinjaman yang berasal dari pemerintah pusat atau pemerintah daerah lainnya. 

d. Setelah penerbitan Obligasi Daerah, jaminan dapat diberikan adalah proyek-proyek yang dibiayai dari daerah Obligasi Daerah dan barang-barang mereka melekat pada proyek. Sementara pendapatan regional dan/atau properti regional yang tidak melekat pada proyek yang dibiayai tidak dapat dijamin.

e. Dana yang dihimpun dari penerbitan Obligasi Daerah harus digunakan untukm membiayai investasi sektor publik yang menghasilkan pendapatan dan memberikan manfaat bagi masyarakat. Hasil dari investasi sektor publik akan digunakan untuk membayarbunga dan Obligasi Daerah utama dan sisanya akan disetor ke Kas Daerah.

f. Setiap Obligasi Daerah yang akan diterbitkan tunduk pada persetujuan Parlemen dan Pemerintah Pusat.

g .Penerbitan Obligasi Daerah yang ditetapkan oleh Peraturan Daerah.

h. Kepala Daerah wajib menjaga pengelolaan Obligasi Daerah, yang sekurang- kurangnya meliputi: Penentuan strategi Obligasi Daerah dan manajemen kebijakan termasuk kebijakan manajemen risiko; perencanaan dan pembentukan struktur Portofolio; Penerbitan Obligasi Daerah; Penjualan Obligasi Daerah melalui lelang; Pembelian Kembali Obligasi Daerah sebelum jatuh tempo; pembayaran pada saat jatuh tempo; dan akuntabilitas dari keseluruhan mekanisme Obligasi Daerah.

Berdasarkan UU No. 33 Tahun 2004, pasal 60 masing-masing obligasi setidaknya terdiri dari sebuah Nilai nominal, Batas waktu, Tanggal pembayaran bunga, Tingkat bunga (kupon), Frekuensi pembayaran bunga, Bagaimana perhitungan pembayaran bunga, Ketentuan tentang hak untuk membeli kembali area obligasi sebelum jatuh tempo, dan Ketentuan tentang pengalihan kepemilikan Atribut Biaya-Manfaat, menjadi hal paling penting untuk dipertimbangkan oleh pemerintah daerah, terutama sebelum menerapkan skema Obligasi Daerah. Ini karena masyarakat sebagai pelaku ekonomi berusaha mempertahankan dan menghindari risiko keuangan dan aturan yang mereka pikir dapat menghambat bisnis. Demikian juga dengan atribut monopoli, juga merupakan prioritas penting (kedua) bagi manajer untuk menentukan sikap mereka dalam memilih skema pendanaan, yang berarti bahwa masyarakat ingin dapat memegang hak untuk mengontrol harga untuk pembeli / konsumen tanpa adanya kompetisi. Tingkat pengembalian adalah prioritas bagi masyarakat. Ini karena masyarakat menanggung beban kepentingan publik atau pembayaran pada saat jatuh tempo. Atribut keberlanjutan bisnis adalah prioritas terendah (dari keempat prioritas) yang menentukan sikap pengusaha dalam memutuskan apakah akan memilih obligasi daerah atau dari sektor swasta.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline