Lihat ke Halaman Asli

Rinsan Tobing

TERVERIFIKASI

Seorang pekerja yang biasa saja dan menyadari bahwa menulis harus menjadi kebiasaan.

Tanah Longsor dan Hunian Vertikal bagi Petani

Diperbarui: 11 April 2017   22:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: designboom.com

Kejadian bencana longsor seperti sudah menjadi berita harian di negara ini. Kejadian berulang memakan korban jiwa dan harta para petani. Tingginya kejadian ditenggarai dipicu curah hujan yang tinggi. Kejadian bencana longsor terjadi di lokasi-lokasi dengan kemiringan lahan, berbukit dan lembah. Kejadian di Banjarnegara dan Ponorogo sepertinya hanya mengulang kejadian tahun-tahun sebelumnya.

Para petani itu tidak ingin mati tentunya. Mereka memilih tinggal di kaki-kaki bukit, di lereng-lereng bukit, di lembah-lembah yang rawan longsor karena memang tidak ada pilihan. Lahan-lahan datar pasti sudah dikuasai, dan akan lebih berharga nilainya. Lahan seperti ini sering dijadikan investasi.

Dengan keadaan tanpa pilihan, para petani itu harus mengambil risiko menempati lahan miring dan di kaki-kaki bukit-bukit untuk membangun kehidupannya. Mereka tidak memiliki kemampuan ekonomi untuk mendapatkan lahan yang tidak kritis. Lahan yang datar yang sekaligus dapat dijadikan lahan pertanian. Lahan penghidupan mereka.

Semenjak lahan telah menjadi komoditas, maka harga lahan tidak akan pernah turun. Ini sudah menjadi kenyataan. Lihat, betapa lahan-lahan pertanian berubah menjadi bangunan-bangunan. Karena nilainya lebih tinggi ketika ada bangunan dibandingkan lahan pertanian yang hanya ditanami sayuran dan padi.

Karena lahan telah menjadi komoditas, maka setiap pemilik lahan ingin lahannya bernilai tinggi. Upaya-upaya mencapai itu dilakukan dengan mengkonversi lahan tani menjadi lahan permukiman. Bahkan bisa mewujud jadi daerah industri.

Pilihan untuk tinggal di daerah rawan longsor semata-mata karena persoalan ekonomi. Seperti pernah disampaikan oleh Sutopo, Kepala Pusdatin BNPB. Bahwa masyarakat terpaksa membeli lahan-lahan kritis dan rawan longsor di tebing-tebing dengan kemiringan membahayakan untuk tempat tinggal dan penghidupannya, semata-mata karena alasan ekonomis. Hal itu disampaikan Sutopo dalam sebuah kunjungan ke lahan dengan risiko longsor tinggi di Kabupaten Bantul beberapa tahun lalu.

Pertambahan penduduk di lahan kritis itu menambah beban hidup. Mengubah lahan perbukitan menjadi lahan pertanian menambah risiko rawan longsor. Cobalah berkunjung ke daerah perbukiran di Utara Kota Bandung. Coba lihat di lereng-lereng bukit di Dieng. Coba juga lihat di perbukitan-perbukitan di puncak. Lahan-lahan telah dipanjati bangunan-bangunan. Tanaman-tanaman berakar lemah seperti sayuran telah menggerogoti kekuatan dan integritas lahan itu sendiri.

Tentunya, jika dibiarkan, perubahan lahan-lahan perbukitan menjadi perumahan dan ladang-ladang akan terus berlanjut. Lahan-lahan di tanah pertanian yang cenderung datar akan berganti pemilik. Lalu berganti fungsi, menjadi perumahan dan pabrik. Lalu penduduk akan terus memanjati lereng-lereng bukit. Semuanya karena kebutuhan akan tempat tinggal dan penghidupan, tetapi tidak memiliki kekuatan ekonomi yang memadai. Pilihannya, mengambil risiko yang setiap saat menjadi bencana yang menghancurkan hidup dan penghidupan petani. Hidup dan penghidupan yang didapat dalam waktu yang lama. Hidup dan penghidupan yang hancur dalam hitungan detik di hadapan bencana tanah longsor.

Memang, dalam prinsipnya ada tiga alternatif yang dapat dilakukan. Menurut Syamsul Maarif, Kepala BNPB 2008-2015, dapatdilakukan tiga hal terkait bencana, yakni 1) menjauhkan aset dari bencana, 2) menjauhkan bencana dari aset, dan 3) hidup harmonis dengan bencana.

Pilihan ketiga mungkin diambil dimana upaya-upaya pengurangan risiko bencana harus secara terus menerus dilakukan. Tetapi, tetap ini tidak akan banyak membantu, karena kecenderungannya manusia akan menambah beban kepada bumi jika bumi belum bergolak. Melaksanakan hidup harmonis dengan risiko bencana menyimpan risiko tersendiri jika upaya-upaya pengurangan risiko bencana absen dilakukan.

Pengalaman di Merapi

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline