Lihat ke Halaman Asli

Misteri Kala #6

Diperbarui: 1 September 2018   19:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku melebarkan mata dan terkejut mendengar ucapannya. Dari mana dia tahu aku akan pergi ke Jenar untuk mencari rumahku? Ah! Siapa Bapak tua ini sebenarnya, bisikku dalam hati.

Tut ... tut ...

Kereta Bogowonto yang kutunggu sudah masuk stasiun. Aku bergegas meraih tasku dan meninggalkan Bapak tua itu. Aku menaiki tangga menuju gerbong kereta dan mencari kursi sesuai nomor tiketku.

Aku meletakkan tas jinjingku di bagasi di atas kepalaku lalu duduk dan memandang sekelilingku. Di sampingku masih kosong, artinya aku bisa duduk dengan tenang. Kedua mataku menangkap ke luar jendela. Hanya titik-titik cahaya lampu dari kejauhan yang menghiasi malam.

Seseorang baru saja meletakkan barang bawaannya ke atas, lalu duduk di sampingku. Sekilas aku menoleh. Astaga! Bapak tua tadi, batinku. Aku terkesiap menyaksikan Bapak tua itu satu gerbong denganku. Sekarang, dia duduk di sebelahku. Apa mungkin dia sengaja mengikutiku?

Sengaja aku memalingkan wajahku,  tak berani aku melihat wajahnya. Sepertinya Bapak itu juga sedang mencuri pandang denganku. Tapi aku memilih membaca novel ketimbang mengajaknya bicara.

Suara dari pengeras suara mengumumkan jika kereta akan segera diberangkatkan. Dan kereta mulai bergerak dari stasiun Senen dengan tiupan serupa suling di lokomotif sebagai tanda. Berjalan di atas rel menghasilkan liukan seperti seekor ular Piton besi melata di jalan miliknya.

Kulihat penumpang di seberang kursiku memilih tidur, sementara serombongan pemuda di kursi lain mengobrol sejak mereka pertama duduk tadi. Berceloteh tentang banyak hal termasuk membicarakan isu politik yang sedang hangat. Di barisan kursi aku duduk, aku hanya berdua dengan Bapak tua itu. Dan aku tetap membaca untuk sekadar mengisi waktu di perjalananku.

Rasa kantuk mulai menyerangku, dan aku tak kuasa lagi menahannya. Aku memperbaiki posisi dudukku, memasukkan novel ke dalam tasku dan bersiap memejamkan mata.

"Sebaiknya kamu pulang." Kembali suara Kakek tua-lebih tepat kupanggil-membuatku bergidik. Mataku terbelalak dan seketika melenyapkan kantukku. Aku terkesiap dan melebarkan bola mataku.

Apa alasannya memintaku untuk pulang? Perjalananku bahkan belum sampai separuh. Aku bergeming.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline