Lihat ke Halaman Asli

Berhasilkah Serial TV "Laskar Pelangi"?

Diperbarui: 25 Juni 2015   21:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13258215261727306496


Tak habis-habis rasanya membahas Laskar Pelangi. Karya ini rupanya terus berkembang menjadi karya-karya baru yang tidak bisa dinilai kurang dari karya pertamanya.

Kita tahu bahwa buku karya Andrea Hirata ini sangatlah laris, hingga berjuta-juta copy (baik versi asli maupun bajakannya). Dan tak hanya di dalam negeri tapi juga di luar negeri. (Baca: Novel Laskar Pelangi Laris Manis di Korsel). Tahun ini, novel yang telah diterjemahkan ke dalam 26 bahasa ini akan diterbitkan di Amerika Serikat oleh Farrar, Straus and Giroux (FSG), penerbit New York yang terkenal banyak melahirkan karya sastra dunia pemenang Nobel.

Ada karya yang populer, tapi tidak berbobot. Ada pula karya berbobot, tapi tidak populer. Nah, buku Laskar Pelangi ini amat berbobot sekaligus amat populer. Jadi ketika filmnya rilis, masyarakat harap-harap cemas takut menghancurkan bukunya. Tapi saya yang selalu yakin dengan Miles dan Riri Riza, tidak banyak khawatir seperti orang-orang. Dan tampaknya keyakinan saya terbukti, karena filmnya pun disambut dengan sangat baik di masyarakat. Lima juta penduduk Indonesia bersemangat menonton. Belakangan, film ini pun dibawa ke festival film 26 negara di lima benua. (Baca: Laskar Pelangi Membuka Festival Film ASEAN I di Selandia Baru). Dan kabarnya, perusahaan produksi film Plan B milik Brad Pitt juga tertarik memfilmkan lagi Laskar Pelangi di Amerika sana dan telah mengontak pihak Andrea Hirata terkait Hak Cipta.
Dan Miles dan Riri Riza tidak berhenti. Setelah sukses memproduksi sekuelnya, Sang Pemimpi, mereka pun lanjut dengan membuat Musikal Laskar Pelangi. Tak hanya ramai di Indonesia, pementasan ini juga disaksikan dengan antusias oleh tak kurang dari 2000 penonton di Singapura. (Baca: Tampil di Esplanade Singapura, Musikal Laskar Pelangi Mengharumkan Nama Indonesia)

13258197091366032990

Dan kini muncullah Laskar Pelangi The Series di SCTV. Saat tulisan ini dibuat, sudah sampai di episode ke-11 dari total 15 episode. Berhasilkah serial TV ini?

Sejak awal saya tidak cemas karena Andrea Hirata sendiri merekomendasikan tayangan ini dan mengatakan bahwa bahkan dia yang menciptakan soundtracknya. Serial yang disutradarai oleh Guntur Soeharjanto ini disajikan dengan lebih kaya karena memunculkan bagian-bagian dalam novel yang tak sempat tergarap di layar lebarnya. "Lebih intens pada setiap bab novelnya dan saya kira sutradara mengambil angel yang berbeda dari film," kata Andrea Hirata saat dialog dalam Liputan 6 Pagi, Ahad (25/12/11).

Tapi pada tayangan perdananya tanggal 26 Desember, saya sempat skeptis. Pasalnya begini. Saya sudah gembar-gembor mengajak para keponakan saya, kakak, ibu dan bapak saya untuk menonton bersama di ruang keluarga. Namun ketika serial ini dimulai, setelah beberapa menit, keponakan saya yang kelas 3 SD mulai gelisah, dan akhirnya beringsut menonton Sponge Bob di kamarnya. Menyusul kemudian ibu saya yang menguap lalu juga masuk kamar, dan mulailah terdengar sinetron di kamarnya. Keponakan saya yang SMP malah sibuk dengan HP-nya dan mengutak-atik fesbuk sepanjang acara. Lalu kakak saya mengatakan bahwa dia akan menggoreng sesuatu untuk cemilan dan menghilang ke dapur. Akhirnya, yang tertinggal menonton cuma saya dan bapak saya. Itupun setiap jeda iklan, beliau cepat-cepat ganti ke channel berita yang ada talkshow politikus adu mulut.

Apa yang terjadi sebenarnya? Padahal cerita mengalir cukup bagus. Pemeran-pemerannya berakting dengan baik sekali. Latar keindahan Belitong itu membuat saya betah menonton.

Mungkin karena keluarga saya yang tinggal di pelosok desa di Bali ini memang belum membaca bukunya dan menonton filmnya, sehingga tidak mengantisipasi apa yang akan disuguhkan.

Mungkin bahasa Melayu Belitong itu begitu asing dan sulit dipahami dan anak-anak itu bicara begitu cepat sehingga penonton tak dapat menangkap dialognya. Teks yang kadang-kadang muncul juga font-nya terlalu kecil dengan warna yang tak jelas terlihat.

Mungkin keluarga saya itu menjadi tak tertarik lagi berempati dengan anak-anak pulau asing yang miskin dan kumal, karena keluarga kami sendiri juga cukup susah. Sehingga mereka lebih memilih melihat wajah-wajah selebriti yang cantik dan ganteng dengan mobil dan rumah mewah, lebih memilih kartun ringan yang bodoh tapi lucu, lebih memilih tayangan komedi situasi politik negara ini yang tak habis-habis lucunya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline