Di tengah derasnya arus globalisasi yang kian menggulung berbagai sendi kehidupan, identitas budaya dan agama kerap mengalami guncangan. Banyak anak muda lebih terpesona dengan budaya luar yang dianggap modern, instan, dan praktis, sehingga secara perlahan melupakan akar tradisi yang diwariskan leluhur. Padahal, kearifan lokal yang kita miliki menyimpan kekayaan nilai spiritual dan etika yang justru mampu memberi arah ketika dunia modern terasa membingungkan. Salah satu kearifan yang lahir dan tetap hidup hingga kini adalah ajaran agama Hindu. Menjadi Hindu bukan hanya soal keyakinan spiritual, tetapi juga tentang cara hidup yang menyatu dengan alam, budaya, tradisi, serta nilai-nilai kemanusiaan universal. Artikel ini akan mengajak kita merenung lebih dalam tentang mengapa kita patut bangga beragama Hindu, sekaligus mengapa merawat kearifan lokal yang terkandung di dalamnya sangat penting di era global yang serba cepat.
Hindu sering disebut bukan sekadar agama ritual, melainkan jalan hidup yang disebut Sanatana Dharma, yakni ajaran kebenaran abadi. Di dalamnya terdapat prinsip bahwa hidup manusia harus selalu sejalan dengan hukum alam semesta. Setiap tindakan manusia diyakini memiliki konsekuensi yang tidak bisa dihindari. Pandangan ini membuat Hindu tidak pernah ketinggalan zaman. Ajarannya tetap relevan dari masa lalu, masa kini, hingga masa depan. Di era modern yang penuh dengan ketidakpastian, prinsip ini justru memberi pegangan moral yang menenangkan sekaligus memberi arah. Saat dunia sibuk membicarakan keseimbangan hidup, Hindu sejak ribuan tahun lalu sudah menekankan hal itu melalui ajaran-ajarannya.
Salah satu konsep inti yang membuat kita bangga menjadi Hindu adalah Tri Hita Karana. Ajaran ini menekankan bahwa kebahagiaan hanya bisa tercapai ketika manusia mampu menjaga tiga harmoni sekaligus, yaitu hubungan dengan Tuhan (Parahyangan), hubungan dengan sesama manusia (Pawongan), serta hubungan dengan lingkungan alam (Palemahan). Jika dipikirkan lebih jauh, konsep ini sejalan dengan gagasan modern tentang pembangunan berkelanjutan. Bahkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) kini mendorong prinsip serupa lewat program Sustainable Development Goals. Hal ini menjadi bukti nyata bahwa Hindu sudah lama menawarkan solusi atas tantangan global. Contoh paling nyata bisa kita lihat di Bali, di mana konsep Tri Hita Karana dijadikan dasar dalam pengembangan pariwisata berkelanjutan. Desa wisata, hotel, hingga pengelolaan sumber daya alam di sana berusaha mengikuti prinsip ini. Dengan demikian, ajaran Hindu tidak hanya bermanfaat bagi umatnya, tetapi juga memberi kontribusi nyata di tingkat global.
Selain itu, Hindu juga menekankan betapa pentingnya menjaga kelestarian alam. Upacara melasti misalnya, tidak hanya sekadar ritual pembersihan diri menuju hari raya Nyepi, tetapi juga menyiratkan pesan ekologis yang mendalam. Membawa pratima dan sarana upakara ke laut atau danau adalah simbol kesadaran untuk membersihkan diri sekaligus menjaga sumber air agar tetap suci dan lestari. Demikian pula tradisi tumpek wariga yang ditujukan untuk memuliakan tumbuhan, dan tumpek kandang yang ditujukan untuk menghormati hewan. Semua tradisi ini memperlihatkan betapa ajaran Hindu begitu menghargai alam, jauh sebelum istilah "ekologi" dan "konservasi" dikenal luas. Dalam konteks perubahan iklim yang semakin nyata, nilai-nilai ini menjadi jawaban penting untuk generasi masa kini. Merawat alam bukan sekadar tugas ilmiah, tetapi juga kewajiban spiritual.
Hindu juga sangat kaya dalam mengajarkan harmoni sosial. Salah satu contoh adalah tradisi ngayah, yaitu kerja sukarela yang dilakukan demi kepentingan bersama tanpa pamrih. Ngayah bukan hanya gotong royong biasa, melainkan wujud nyata dari rasa tulus ikhlas. Dalam dunia modern yang sering diwarnai individualisme dan sikap egois, ngayah hadir sebagai perekat sosial yang menumbuhkan rasa solidaritas. Anak-anak, remaja, orang dewasa, hingga orang tua terlibat bersama-sama, sehingga terjalin kebersamaan lintas generasi. Dari ngayah kita belajar banyak hal, mulai dari kepemimpinan, tanggung jawab, hingga rasa rendah hati. Tidak berlebihan jika ngayah dianggap sebagai salah satu warisan luhur yang membuat umat Hindu patut berbangga. Di saat masyarakat modern sedang mencari cara membangun koneksi sosial yang sehat, Hindu sudah memiliki resepnya sejak lama.
Di samping itu, Hindu juga mengajarkan kesadaran mendalam tentang hukum sebab-akibat melalui ajaran karma phala. Setiap tindakan akan membuahkan hasil, baik atau buruk, sesuai dengan kualitas tindakan itu sendiri. Konsep ini sesungguhnya universal. Semua orang, tanpa memandang agama atau budaya, bisa memahami bahwa tindakan memiliki konsekuensi. Ajaran ini sejalan dengan prinsip "cause and effect" dalam sains modern. Dengan memahami karma phala, umat Hindu didorong untuk selalu berpikir, berkata, dan bertindak benar, yang dikenal dengan Tri Kaya Parisudha. Jika ajaran ini dijalankan dalam kehidupan sehari-hari, hubungan antar manusia akan lebih harmonis, penuh kejujuran, dan jauh dari konflik yang merugikan. Nilai-nilai ini membuat Hindu tetap relevan di era modern, bahkan di tengah gempuran teknologi dan globalisasi.
Kebanggaan sebagai umat Hindu juga semakin kuat ketika kita melihat kekayaan budaya yang lahir dari ajarannya. Bali adalah contoh nyata bagaimana budaya Hindu memberi identitas yang begitu kuat. Tari-tari sakral yang penuh makna, arsitektur pura yang megah, hingga ritual-ritual yang sarat simbol, semuanya adalah wujud nyata dari ajaran Hindu yang hidup. Tak hanya itu, karya sastra epik seperti Mahabharata dan Ramayana juga menjadi sumber inspirasi yang mendunia. Kisah tentang keberanian, kesetiaan, pengorbanan, dan perjuangan menegakkan kebenaran dalam dua karya besar ini tetap relevan hingga kini. Nilai-nilai moral yang terkandung di dalamnya bisa menjadi pedoman generasi muda, baik di bidang pendidikan, kepemimpinan, maupun kehidupan sehari-hari. Bahkan UNESCO telah mengakui beberapa tradisi Hindu sebagai warisan budaya dunia. Artinya, Hindu bukan hanya milik satu komunitas, tetapi juga bagian dari kekayaan peradaban manusia.
Dalam konteks kebangsaan Indonesia, Hindu juga berperan penting dalam menjaga kerukunan. Prinsip Vasudhaiva Kutumbakam, yang berarti "dunia adalah satu keluarga", mengajarkan bahwa semua manusia bersaudara. Prinsip ini memudahkan umat Hindu untuk hidup berdampingan dengan agama lain. Di Bali misalnya, hubungan antaragama berlangsung dengan harmonis melalui kerja sama sosial, percakapan lintas iman, hingga gotong royong dalam kehidupan sehari-hari. Nilai toleransi ini bukan sekadar teori, melainkan sudah menjadi praktik nyata yang diwariskan turun-temurun. Di saat dunia sering diwarnai konflik karena perbedaan, Hindu justru hadir membawa pesan bahwa keberagaman adalah kekuatan, bukan ancaman.
Lantas, bagaimana dengan generasi muda Hindu? Mereka adalah ujung tombak untuk memastikan ajaran luhur ini tetap hidup dan relevan. Generasi muda perlu memahami bahwa menjadi Hindu bukan sekadar soal menjalani ritual, tetapi juga menghayati nilai-nilainya dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya prinsip Tat Twam Asi, "aku adalah engkau, engkau adalah aku", yang mengajarkan empati dan solidaritas. Prinsip Tat Twam Asi ini sesungguhnya adalah inti dari kemanusiaan. Dalam kehidupan modern yang sering menumbuhkan sekat-sekat, ajaran ini mengingatkan bahwa rasa sakit orang lain adalah rasa sakit kita juga, dan kebahagiaan orang lain adalah kebahagiaan kita bersama. Jika generasi muda mampu benar-benar menanamkan nilai ini, maka mereka tidak hanya menjadi pewaris tradisi, tetapi juga agen perubahan yang mampu menebar kedamaian. Di ruang-ruang akademik, di dunia kerja, maupun di ranah digital yang penuh hiruk-pikuk, Tat Twam Asi dapat menjadi kompas etis untuk berinteraksi tanpa kehilangan empati.
Selain itu, generasi muda Hindu juga perlu menyadari bahwa kearifan lokal yang kita warisi tidaklah statis, melainkan dinamis. Ritual, simbol, dan tradisi bukanlah sekadar benda mati yang hanya dipertontonkan saat hari raya, tetapi bisa menjadi sumber inspirasi kreatif. Seni tari, musik gamelan, ukiran, bahkan filosofi arsitektur pura, bisa diolah kembali dalam bentuk kontemporer tanpa kehilangan roh aslinya. Dengan cara ini, Hindu tidak akan tampak usang, melainkan selalu segar dan relevan dengan zaman.
Lebih jauh lagi, merawat kearifan lokal Hindu berarti ikut menjaga ekosistem identitas bangsa. Indonesia adalah rumah besar yang ditopang oleh beragam budaya, dan Hindu menjadi salah satu pilar yang memperkokoh bangunan itu. Maka, kebanggaan beragama Hindu sejatinya bukan hanya milik umatnya, tetapi juga sumbangan nyata bagi harmoni Nusantara. Dengan merawatnya, kita sesungguhnya sedang menjaga keseimbangan yang lebih luas: keseimbangan manusia, alam, dan semesta. Bangga menjadi orang Hindu berarti banga memiliki dan mewariskan warisan ajaran yang abadi. Oleh karena itu, sudah saatnya kita terutama generasi muda, untuk meneguhkan rasa bangga itu. Bukan sekedar dengan menjalankan ritual, tetapi juga dengan menghidupkan nilai-nilai dalam kehidupan sehari-hari.