Lihat ke Halaman Asli

Rina Darma

Ibu Rumah Tangga

Ditikung Sahabat, Haruskah Memaafkan?

Diperbarui: 22 Mei 2020   23:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi Saling Bermaafan (Foto: Koleksi Pribadi)

Sakitnya tuh di sini, di dalam hatiku...

Masa ABG adalah masa ababil, masa cinta monyet. Masa tepe-tepe alias tebar pesona. Masa persahabatan. Masa penuh khayalan tingkat tinggi.

Saat di bangku SMP, aku pernah naksir seorang cowok yang juga teman sekelas. Aku pun kerap berbagi cerita pada teman sebangkuku yang bagi banyak orang kami adalah sahabat.

Hubunganku dengan si cowok bisa dibilang cukup dekat. Karena kami memiliki grup band favorit yang sama, TIPE-X. Kami kerap bertukar lirik lagu. Saat itu tidak semudah sekarang, tinggal klik di google langsung muncul bait-bait lirik lagunya.

Waktu aku remaja, masih zaman kaset dan belum familiar dengan VCD/DVD, apalagi kami adalah anak desa. Kaset saja tidak banyak yang punya. Untuk bisa mendapatkan lirik lagu ya mendengarkan radio lalu mencatatnya. Rajin ya???

Dari selembar kertas itulah cinta monyet mulai bertumbuh. Namun, monyetnya keburu lompat ga jadi deh cinta-cintaannya. Suatu ketika, aku diberitahu temanku, kalau teman sebangkuku itu "nembak" cowok yang aku taksir. Padahal aku hanya bisa diam-diam memendam rasa, karena memegang prinsip cowok harus duluan mengungkapkan perasaan, eh teman sebangkuku itu mematahkan prinsip dan perasaanku.

Namanya juga masih ababil, aku dan teman sebangkuku diam-diaman. Puncaknya, tanpa ada kata-kata dariku, aku memutuskan pindah bangku. Karena jumlah murid kami ganjil, dia jadi duduk sendiri. Aku tak peduli. Sakit sekali rasanya seperti penggalan lirik lagu Cita Citata diatas.

Meskipun si cowok tak menerimanya, tapi aku rasanya  tetap sakit akibat "pengkhianatan" temanku yang aku pikir kita sahabatan itu. Tidak hanya sehari, dua hari, seminggu... kami diam-diaman. Padahal Nabi Muhammad SAW bersabda,

"Tidak halal bagi seorang muslim untuk memboikot (tidak menyapa) saudaranya lebih dari 3 hari." (HR. Bukhari 6237 dan Muslim 2560)

Setelah beberapa waktu, dia datang ke rumahku untuk meminta maaf. Mau tak mau, tanganku menerima uluran tangannya dan mulutku berkata "iya". Hatiku masih harus diajak berkompromi.

Meskipun dia sudah meminta maaf tapi akibat kejadian tersebut sangat membekas buatku. Aku jadi seolah tidak percaya kepada orang lain. Aku tidak pernah lagi curhat segitu dalam kepada orang lain bahkan hingga dewasa. Meskipun aku punya teman dekat, aku tetap punya ranah privasi yang tidak bisa ditembus orang lain. Kejadian itu juga membuat segala perasaan untuk si cowok ikut lenyap. Aku pun sekian lama tak membuka hati buat cowok.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline