Lihat ke Halaman Asli

Solusi Pemanfaatan Ikan Tangkap yang Belum Optimal?

Diperbarui: 15 Desember 2016   22:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Indonesia sebagai negara maritim yang dikenal dengan semboyan ‘nenek moyangku adalah seorang pelaut’ kini justru menghadapi masalah di bidang yang paling digembar-gemborkan sebagai bidang unggulannya. Sektor kemaritiman adalah salah satu sektor yang masuk ke dalam agenda Nawacita pemerintahan Jokowi – JK, yaitu “mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik”.

Tangkap tuna adalah salah satu sektor perikanan yang mengalami penurunan terus menerus dalam produktivitasnya. Margin usaha yang diperoleh pada tahun 2003 sebesar Rp 5,9 milyar, sedangkan pada tahun 2009 sebesar Rp 1,6 milyar (PT. Perikanan Nusantara).

Lingkaran Setan

Penurunan produksi sektor ikan tuna salah satunya disebabkan oleh adanya perantara (calo) yang memanjangkan rantai penjualan dari tangan nelayan hingga ke pasar. Faktor lain yang mempengaruhi penurunan ini adalah pinjaman bank yang sulit ditembus oleh para nelayan untuk meminjam modal operasional melaut, karena tidak adanya jaminan yang bisa disediakan oleh nelayan. Karena kedua faktor ini, jumlah nelayan melaut berkurang yang kemudian menyebabkan harga komoditas tuna naik. Harga yang naik langsung direspon oleh pemerintah dengan mengimpor tuna dari luar negeri yang memiliki harga lebih murah. Karena adanya impor tuna murah ini, nelayan lokal semakin terpojok akibat tidak adanya perlindungan harga kepada nelayan dan kondisi tersebut mengurangi jumlah nelayan lokal yang melaut, dan kemudian siklus itu berputar-putar hingga tidak ada nelayan lokal yang melaut.

Pemotongan Rantai Penjualan

Pada masalah ini, PT. Indo Tuna Emerald (InTune) berusaha menyelesaikan deadlock masalah sektor perikanan ini dengan cara memotong rantai penjualan. Perantara atau calo yang membeli ikan nelayan dengan harga rendah dan menjualnya dengan harga tinggi disebabkan oleh kurangnya pendidikan para nelayan lokal di bidang pemasaran dan tidak adanya ruang bagi nelayan untuk memasarkan produknya.

Untuk penyelesaiannya, InTune menyediakan sebuah sistem microfunding dari investor kepada para nelayan. Sistem ini ditengahi oleh InTune sendiri untuk menjamin adanya alur keuangan yang baik. Selain itu, nelayan diberikan sebuah marketplace berbasis aplikasi untuk menjual hasil tangkapannya yang memotong alur penjualan konvensional melalui perantara dan memberikan harga yang pas antara nelayan dan pembeli.

Mengapa InTune?

  • Bukan sekedar startup. Perusahaan ini tidak hanya menyediakan layanan kemitraan berbasis aplikasi saja, untuk mendapatkan pendapatan yang riil, InTune menjual produk fillet premium dan sambal petis tuna yang dibeli dari nelayan lokal melalui marketplace yang disediakan.
  • Harga dari tuna fillet sangat menguntungkan. Dengan biaya Rp 40.000/kg tuna, dan diolah menjadi fillet dapat dijual hingga Rp 120.000. Sedangkan untuk sambal petis tuna, bahan baku diambil dari bagian ikan tuna yang tidak dijadikan fillet sehingga memiliki biaya operasional yang sangat kecil.
  • Kapal Fiberglass menjadi salah satu keunggulan dari InTune yang ditawarkan kepada nelayan. Bermitra dengan InTune akan memberikan nelayan pinjaman modal untuk menyewa kapal fiberglass yang mempunyai teknologi tinggi dalam hal tangkap ikan.

Peluang Bisnis Tuna di Indonesia

Permintaan akan fillet tuna yang meningkat dari tahun ke tahun. Kondisi ini sangat menjanjikan bagi para investor untuk menginvestasikan modalnya kepada InTune. Dari segi politik, pemerintah akan mendukung sektor ini karena permintaan harus dibarengi dengan produksi lokal yang meningkat untuk menjaga keseimbangan pasar.

 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline