Lihat ke Halaman Asli

Rifki Feriandi

TERVERIFIKASI

Open minded, easy going,

SOTR, Jangan Biarkan Nila Setitik Rusak Susu Sebelanga

Diperbarui: 4 Juni 2018   15:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: Inikah sahur on the road di kepala si Ayah | Foto: NU online

Sudah ada niat sejak kapan-kapan mengenalkan kegiatan Sahur On The Road ke si Ade, bungsuku, eh tahunya kontroversi SOTR sedang menjadi-jadi. Gagal maning deh.

Selama ini kegiatan amal atau sosial itu sudah banyak dibuat oleh siapapun itu. Utamanya kan dalam bentuk berbuka puasa bersama. Dengan anak-anak yatim lah, di panti jompo lah, di mesjid dengan siapa pun itu - anak yatim, anak jalanan, homeless, pelintas dan lain-lain.

Banyak juga komunitas sengaja melakukan aksi dengan membagikan kotak takjil atau kotak makan kepada para pengendara yang lewat. Atau ada juga yang menfokuskan memberikan makanan atau bingkisan buat pengemudi becak. Dan kegiatan seperti itu sangat membantu masyarakat kurang mampu, bukan?

Tapi, sahur sepertinya berbeda ya. Aktivitas sosial yang dilakukan menjelang petang itu jarang dilakukan menjelang fajar. Padahal, bersahur bagi mereka yang kesulitan kan sama halnya dengan berbuka. Bahkan terkadang, sahur itu lebih sulit. Bukankah warung yang buka sebelum subuh itu jauh lebih sedikit dari sore hari? Bahkan, Alfamart dan Indomaret pun bukanya jam setengah delapan.

Ide untuk mengenalkan SOTR ke si Ade masih belum terlaksana dengan alasan klasik. Jangankan ngider ke luar rumah jam 3, membangunkan anak kecil saja sulit. Kalopun bangun, bisa-bisa dia makan sahur dengan mata tertutup. Yekan? Mata baru melek setelah dia selesai makan. Barulah dia segar dan semangat kalo diajak ke Mesjid.

Adem jika tujuannya baik. Sahur on the road yang dilakukan bikers | Foto: klik Samarinda

Sebenarnya, SOTR itu bagus ya. Saya baca di katakita facebook, ada sedikit sejarah SOTR yang saya baca. Penggalan pentingnya dalah ini:

"Mulanya kita berfikir, jika ada orang gak bisa puasa karena sakit, uzur atau hamil, dia harus membayar fidyah. Memberi makan 60 orang fakir miskin. Pertanyaanya, kemana kita bisa menyalurkan pemberian makan itu agar efektif".

"Kalo disiapkan untuk makanan berbuka, sudah terlalu banyak yang mempersiapkan. Gimana kalau untuk makan sahur saja? Bagikan makanan untuk bayar fidyah kita ke orang-orang yang membutuhkan pada saat sahur".

Pas bukan. Maksudnya brilian, kan? Berbagi. Dan memberi fasilitas menyalurkan fidyah - atau berlanjut menjadi sedekah, kepada yang berhak.

"Iya sih. Tapi, apa mau tiap SOTR terjadi kerusuhan, bawa-bawa, tawuran, corat-coret".

Pliss deh. Siapa yang mau begitu. Apa jika ada satu bagian lumbung yang rusak, lalu lumbungnya itu yang dibakar? Apa jika ada satu orang di kelas yang badung, lantas kelasnya dicap sebagai kelas anak-anak nakal. Nila setitik rusah sebelanga. Itu kan pemberian stigma. Yatoh? Mendingan ikutan peribahasa plesetan Cak Lontong saja. "Karena nila setitik, rusak suruh orang benerin aja".

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline