Lihat ke Halaman Asli

Pintu Perlintasan Kereta

Diperbarui: 14 September 2019   10:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber ilustrasi : pixabay

Malam ini pertama kali aku berjaga di pintu perlintasan kereta Banting. Angin menelusup di antara rimbun bougenville. Ada aroma melati entah dari mana.

Azam sudah sejam lalu menghilang. Asap motornya sudah menyatu dengan kabut. Dingin malam mendinginkan kopi, juga mendinginkan hatiku. Topi kupluk semakin kubenamkan. Sarung bertambah kencang membelit leherku. Adakah dingin malam yang membuatku menggigil, atau rasa takut yang sangat?

Malam ini aku terpaksa menggantikan Mang Ojo berjaga di pintu perlintasan kereta. Dia sedang ada acara keluarga. Sialnya pula, aku harus menunggu sampai kereta terakhir melintas sekitar pukul dua belas malam. Keberangkatan kereta dari Stasiun Kertapati terlambat karena kesalahan teknis. 

Huh, coba saja aku ada kawan mengobrol! Maksudku kawan melawan takut. Tapi, semua menghilang terhipnotis organ tunggal di tempat Mang Kedang. Kabarnya biduanitanya semok menggoda.

Hmm, kenapa pula Mang Ojo ada acara keluarga malam ini? Coba saja kalau acaranya siang, aku paling tidak hanya perlu berjaga di pintu perlintasan kereta sampai senja.

Aku terbayang desas-desus, bahwa di tempat ini dulu tempat pembantaian manusia pada tahun '65. Malam hari kalau sedang sepi begini, sering terdengar jeritan entah darimana Lalu, ada suara yang menangis. Kata orang sih, tempat ini berhantu.

"Mas." Tiba-tiba sebuah suara menyapaku.

Berat rasanya kepala ini diangkat. Rasa takut menggandulinya. "Adakah kereta lewat malam ini?" Dia duduk di sebelahku. Seorang perempuan berbaju terusan warna putih bermotif kembang-kembang. Rambutnya terurai panjang. Selintas dia tersenyum. 

Cantik juga. Tapi, sekarang ini bukan waktu yang tepat memikirkan cantik. Lagi pula, meskipun ada kereta yang melintas, tentu saja sekadar melintas. Mustahil dia berhenti menaik-turunkan penumpang.

Perempuan itu mengambil gelas bekas Azam. Kopi yang tersisa seperempat, diseruputnya hingga tandas. Sepotong sisa ubi goreng dia kunyah. Dia menyeringai. "Ada kereta lewat malam ini?" tanyanya lagi. Selangkanganku terasa basah. Nyaliku semakin ciut.

"Ada, tapi cuma melintas," jawabku terbata. "Tidak mungkin menaik-turunkan penumpang."

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline