Lihat ke Halaman Asli

Cerpen | Darah

Diperbarui: 22 Juli 2019   18:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber ilustrasi: pixabay

Aku menjerit ketakutan saat darah merembes dari liang kemaluan dan menjalar di pangkal pahaku. Kusangka aku akan mati. Kuingat si Belang, kucingku, ditabrak mobil seminggu lalu, mati karena kehabisan darah.

Ayah tiba-tiba menyeretku ke kamar mandi. Katanya, darah itu pertanda aku sudah menjadi perempuan dewasa. Kala dia hendak membersihkan jalaran darah di pahaku, kejadian menakutkan itu pun terjadi. Ayah hanya mengenakan kaos oblong dan pinggangnya dibebat handuk. Tak sadar handuknya melorot. Kulihat sesuatu yang tak boleh terlihat. Aku bingung. Aku merasa wajah ini panas. Ayah meminta maaf dan menyuruhku menutup mulut atas kejadian itu. 

Kemudian hubunganku dengan ayah menjadi renggang. Kami saling membisu ketika bertemu. Sewaktu ibu ke pasar berjualan sayur, dan kami hanya berdua di rumah, aku lebih baik minggat ke rumah Aisah, tetanggaku. Begitu pula bila liburan sekolah tiba, aku lebih senang ikut ibu berjualan di pasar. Tapi ibu selalu memaksaku di rumah saja. Menemani ayah sekalian membantunya bila butuh apa-apa, seperti dibuatkan kopi. Ayah seorang seniman lukis. Jadi wajar dia tak seperti orang-orang yang memiliki kantor. Ayah berkantor di rumah.

Kejadian melorotnya handuk ayah, selalu terbawa-bawa dalam pikiranku. Bahkan aku sampai termimpi-mimpi. Apakah ayah-ayah temanku memiliki kemaluan seperti miliknya? Apakah hanya dia yang memiliki yang demikian? Aku menyesal kenapa sampai melihat kemaluannya, sehinga saat bersirobok mata sesudahnya, seolah mata ayah tetap mengancam; jangan memberitahu siapa-siapa!

* * *

"Kenapa beberapa hari belakangan ini kau kelihatan menjadi pendiam, Arini?' tanya ibu. Kami tengah menikmati santap malam yang menurutku menyakitkan. Aku merasa seluruh yang ada di meja, kesat dan mengganjal tenggorokan. Jus pokat tanpa es, pun bagai lumpur menerjang rongga tubuhku.

Tak seperti biasa, jus itu kini bersisa. Padahal sebelum-sebelumnya, jangankan jus pokatku, jus pokat jatah ibu selalu kuambil-alih karena kemaniakanku terhadap buah yang satu itu. Tentulah kondisi demikian ada penyebabnya. Tak lain tak bukan, disebabkan ayah duduk berhadap-hadapan denganku walaupun dibatasi meja. Setiap tatapannya seolah memerangkap. Membawaku ke liang gelap. Mengikat tangan-kakiku. Menutup mulutku dengan saputangan. Lalu ancaman-ancaman mengalir sedemikian deras dari mulutnya. Duh, adakah perilaku ayah orang lain sama dengan ayahku?

Aku ingat Mien, teman sebangkuku di esde '45, bercerita tentang ayah tirinya yang pemarah. Mien dianggap babu. Dianggap mesin yang harus melayani seorang ayah apabila Mien sudah pulang sekolah. Lalu semuanya berakhir di titik jenuh, ketika si ayah mencoba memerkosanya.

Beruntung kejadian memalukan itu termentahkan. Tetangga sebelah rumah mengetahui kebejadan ayah tiri Mien. Akhirnya lelaki itu dibulan-bulani massa. Tubuhnya dijejalkan ke penjara hingga sekarang. Mien bersyukur telah kehilangan seorang ayah tiri.

"Arini!" Ibu memegang keningku. "Kau sakit?"

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline