Lihat ke Halaman Asli

[RTC] Senyuman yang Jatuh di Matanya

Diperbarui: 16 Januari 2019   15:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ref. Foto : pixabay

Saat itu

Mata kami terpana melihat ombak setinggi dua meter lebih seperti lidah maut menjilat apa saja. Kami seakan di alam mimpi. Tapi, kami cepat terbangun. Berlarian lintang-pukang. Tak tentu tujuan. Mereka kuarahkan kembali ke villa. Berlari ke villa, berlari ke villa! Begitu aku meneriakkan. Kau tahu bagaimana kemelut yang kami hadapi? Ketakutan sangat menunggu jamahan maut, menyentak, dingin, dan seperti tak ada belas kasih.

Lidah maut itu ternyata lebih cepat menyeret kami. Manusia hanya berjuang, tapi, hasil akhir bukan. Aku menjangkau anak-anak. Tangan Fikri kutarik. Kaki Saodah kukepit. Terkadang apa yang telah dipelajari sampai ngelotok, ketika menghadapi sesuatu akan menghilang dan kelihatan bodoh. Aku seorang nakhoda. Aku tahu cara menyelamatkan diri dari belitan air. Namun, namun, namun....

Aku berhasil menghantarkan kedua anak ke bibir villa. Istriku entah hilang ke mana. Lidah ombak tak mau menyerah. Dia menghantam villa. Membuatnya porak-poranda. Serpihan-serpihan entah, mengoyak-ngoyak seluruh badanku. Gemuruh air menghilangkan gemuruh apa yang tumbuh di mata. Aku tak bisa membedakan yang mana jeritan, yang mana gemuruh air. Aku teringat istri, aku teringat anak-anak, teringat mendiang ayah dan ibu. Mereka menjemputku, menjemputku. Semua gelap. Semua dibekap. Aku tak ingat apa-apa selain air semakin banyak memenuhi lambung.

***

Sebelum itu

Sebuah rumah mungil dan asri bersinar pagi ini seperti ramahnya matahari menyambar dari balik pintu dan jendela. Kukatakan Fikri semakin gempal, dan dia tersenyum. Kuungkapkan Saodah mulai gemuk, karena cukup berat digendong, dan dia merengut. Aku terkejut, masih kelas enam esde, putriku ini sudah mengerti cantik. Meskipun gendut itu bukan berarti tak cantik. Contohnya istriku.

Hampir setiap malam di minggu-minggu terakhir di atas kapal, mataku sering tak bisa diajak kompromi. Badan lelah, ingin menjatuhkan sauh, lalu tidur tanpa mimpi. Kenangan segar, menjalar kepada keluarga, betapa kurasakan bekerja mandah di laut begini. Enam bulan aku menjadi nakhoda kapal tak pulang-pulang ke rumah seperti "Bang Toyib" yang sering didendangkan kawan-kawan. Enam bulan kemudian aku berhasil memperoleh cuti, lalu menjadi nakhoda yang namanya keluarga. Kau lihat istriku semringah? Kataku dia semakin terlihat gendut. Aku suka. Cubitan kecil di pipinya menambah mesra. Seringkali jarak yang memisah, waktu membagi kerja dan di rumah, membuat pertemuan itu lebih indah dari segala. Seperti segarnya air gunung yang mengalir dari pancuran. Seperti aroma alami saat-saat bunga berkembang di taman.

Ah, aku lupa mata-mata menuntut dari dua buah hatiku. Trip pertama yang mereka inginkan saat aku tiba di rumah, bukan hanya jalan-jalan ke mall atau seputaran kota. Mungkin ke luar provinsi. Mungkin ke gunung. Namun, kali ini mereka ingin menghabiskan malam tahun baru di pantai. Aku tersenyum puas. Trip yang kusuka. Badanku amat lelah, sehingga tak sanggup melanglang jauh-jauh. Pantai hanya berjarak puluhan kilometer dari rumahku. Pilihan trip yang sangat tetap. Dua pasang mata ini semringah. Bunda mereka memelukku erat-erat. Kukatakan dia terlihat semakin sehat dan gendut. Dia pun tersenyum.

***

Beberapa saat kemudian

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline